Belajar Upaya Adaptasi Perubahan Iklim dari Semarang

Akibat perubahan iklim, Semarang tak cuma rentan oleh genangan (rob).  Tapi juga oleh banjir, kekeringan, erosi dan abrasi. Apalagi ditambah tak adanya penahan gelombang, baik alami (mangrove) maupun buatan, makin membuat terkikisnya  pesisir di sepanjang pantai utara Jawa. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang mencatat, tak kurang dari 10.000 hektar tambang hilang karena abrasi di sepanjang tahun 2000 – 2003. Sementara itu, dalam kurung waktu 2004 – 2007, Kota Semarang kerusakannya bertambah seluas 900 hektar.




Indepth Report
Belajar Upaya Adaptasi Perubahan Iklim dari Semarang

Oleh:
Luluk Uliyah
Yayasan SatuDunia
Mei 2012


Semarang merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang terletak di pesisir. Dan wilayah pesisir merupakah kawasan yang rentan terhadap perubahan iklim. Naiknya muka air laut akibat pemanasan global akan menyebabkan daerah-daerah pesisir tergenang.
Data dari BMKG, suhu kota Semarang cenderung meningkat 0,2 – 0,5 oC, yang mendorong kenaikan muka air laut dan menenggelamkan sebagian daratan di pesisir utara Jawa. Diperkirakan kenaikan muka air laut di Pantura Jawa mencapai 6 – 10 mm per tahun. Tentu bisa dibayangkan, kota-kota di sepanjang pesisir utara Jawa dalam waktu 100 tahun ke depan akan tergenang air laut.
Kota Semarang sendiri diperkirakan, dalam waktu 20 tahun, pemanasan global akan menyebabkan kenaikan muka air laut setinggi 16 cm dan akan memberikan dampak kerusakan ruas jalan sepanjang 32 km. Tak kurang dari 3.522 rumah akan tergenang, sawah seluas 64,3 hektar dan 2.149 hektar tambak akan terpengaruh air asin.[1]
Akibat perubahan iklim, Semarang tak cuma rentan oleh genangan (rob).  Tapi juga oleh banjir, kekeringan, erosi dan abrasi. Apalagi ditambah tak adanya penahan gelombang, baik alami (mangrove) maupun buatan, makin membuat terkikisnya  pesisir di sepanjang pantai utara Jawa. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang mencatat, tak kurang dari 10.000 hektar tambang hilang karena abrasi di sepanjang tahun 2000 – 2003. Sementara itu, dalam kurung waktu 2004 – 2007, Kota Semarang kerusakannya bertambah seluas 900 hektar.
Tak kurang dari 150 hektar tambak di kelurahan Tugu, Kota Semarang, hilang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Petani tambang rugi besar, karena 1 hektar tambak menghasilkan 25 – 40 juta per tahun.

Selalu Tergenang Rob
Kota Semarang bagian utara dari tahun ke tahun tak pernah kering dari rob. Rob tertinggi biasanya terjadi di bulan April hingga Mei, yang ketinggiannya bisa mencapai 1,5 meter. Akibatnya, infrastruktur seperti jalan mudah rusak, saluran drainase tak berfungsi, aktivitas warga juga terganggu.
Kawasan Kota Lama yang di abad 18 menjadi pusat perdagangan, menjadi kumuh dan semakin ditinggalkan. Rob seringkali menggenangi jalan, gedung-gedung tua peninggalan Belanda, Pasar Johar, Terminal Terboyo, Pelabuhan Tanjung Emas, hingga Jalan Empu Tantular, yang merupakan salah satu akses menuju ke pelabuhan. Kawasan tersebut juga merupakan pintu keluar masuk ke dalam Kota Kota Semarang.
Pelabuhan Tanjung Mas pun mengalami genangan permanen. Rob juga sering menenggelamkan kawasan bongkar muat barang. Pada April 2012 lalu, aktivitas bongkar muat di Pelabuhan ini lumpuh, karena jalan menuju dermaga diterjang rob.
Abrasi di pesisir Semarang bagian timur pun cukup parah. Di Kelurahan Trimulyo, Genuk, misalnya, abrasi telah membuat garis pantai bergeser sekitar satu kilometer ke arah daratan. Kawasan genangan tersebut saat ini dimanfaatkan warga sebagai tambak bandeng.
Menurut Data Bapedda Kota Semarang, kawasan yang tergenang mencapai ± 86 km2 (23%) dan menggenangi 60.000 RT. Tak cuma itu, dari tahun 1991 – 2010, garis pantai mengalami kemunduran hingga 1,7 km dengan area genangan mencapai 1.211,2 ha. Atau setara dengan 1.460 kali lapangan sepakbola.[2]
Curah hujan yang tinggi, kemiringan lahan dan jenis tanah yang rawan gerakan, juga membuat beberapa kawasan di Kota Semarang rawan longsor. Misalnya di wilayah perbukitan, Kecamatan Tembalang, Banyumanik, Candisari, Gajahmungkur, Gunungpati, Mijen, dan Ngaliyan

Kebutuhan Air Warga
Perubahan iklim mengancam keberlanjutan sumber air Kota Semarang. Intrusi air laut telah menyebabkan sumber-sumber air terkontaminasi. Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya aktivitas industri, perdagangan dan jasa juta turut meningkatkan kebutuhan air. Dan akibatnya, air bawah tanah banyak digunakan. Ini berdampak pada lan subsidence.
Keterbatasan persediaan air permukaan menyebabkan semakin meningkatnya pemanfaatan air bawah tanah. Pengambilan air bawah tanah yang berlebih tanpa diimbangi dengan peningkatan infiltrasi air akan menyebabkan terjadi penurunan tanah. Kota Semarang mengalami penurunan tanah antara 1 – 9 cm per tahun akibat dari pengambilan air bawah tanah yang berlebih tanpa diimbangi dengan peningkatan infiltrasi air.
PDAM Kota Semarang sendiri hanya mampu melayani 40% kebutuhan air warga. Rencana pemerintah Kota Semarang untuk menambah produksi PDAM dari waduk Jatibarang baru akan selesai di tahun 2014, dan itu pun hanya mampu memenuhi tak kurang dari 40.000 RT, atau 13 % dari jumlah penduduk saat ini.

Belajar Adaptasi Perubahan Iklim dari Kota Semarang
Sebagai kota yang terletak di pesisir, sepertinya pemerintah Kota Semarang paham, bahwa masalah perubahan iklim sangat mempengaruhi kota ini. Untuk mengatasi masalah perubahan iklim, pemerintah Kota Semarang mengeluarkan Surat Keputusan Bupati nomor 050/0487/2010 yang mengatur tentang  pembentukan Forum Peduli Perubahan Iklim (FPPI) Kabupaten Semarang.
FPPI terdiri dari berbagai unsur, seperti pemerintah kabupaten, masyarakat, pemerhati lingkungan, swasta dan media. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pengelolaan lingkungan hidup di Aliran Sungai (DAS) Garang. Banjir, longsor dan sedimentasi di Rawa Pening yang terjadi akibat adanya pertanian hortikultura di kawasan Sopeng dan Getasan mengakibatkan lahan tak dapat menyerap dengan baik. Sehingga diharapkan dengan adanya pengelolaan DAS Garang dapat membantu mengurangi dampak kerusakan tersebut.
Kota Semarang juga membangun instalasi pemanenan air hujan (rain water harvesting) di Wonosari, Kecamatan Ngaliyan dan Tandang, Kecamatan Tembalang.
Pemerintah Kota Semarang pun memasukkan upaya pengendalian dampak perubahan iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Ruang Terbuka Hijau(RTH), serta memasukkan anggaran khusus dalam APBD. Di tahun 2011 APBD Kota Semarang terkait dengan perubahan iklim mencapai Rp 141 Miliar. Sementara di tahun 2013 turun menjadi Rp 110 Miliar dan di tahun 2014 naik menjadi Rp 115 Miliar.
Penanganan rob, banjir, peningkatan pelayanan publik dan peningkatan infrastruktur adalah program-program dalam visi misi kota Semarang yang dikenal dalam Sapta Program yang berkaitan dengan penanggulangan perubahan iklim.  Penanganan rob dan banjir dilakukan dengan membangun DAM Jatibarang, dengan menormalisasi Kali Garang dan Banjir Kanal Barat, membangun Waduk DAM Jatibarang di Kali Kreo dan Drainase Perkotaan yang meliputi Kali Semarang, Kali Asin dan Kali Baru.
Upaya lain adalah membangun Polder Banger. Proyek polder Banger mendapatkan bantuan teknisi dan pantauan dari perwakilan Hoogheemraadschap van Scieland en de Krimpenerwaard (HHSK), lembaga asal Belanda.
Polder Banger merupakan salah satu proyek kerja sama antara Indonesia dan Belanda untuk menuntaskan masalah banjir dan rob di Kota Semarang, dengan daerah tangkapan air seluas 527 hektar. Tujuannya, melindungi 84.000 warga di sembilan kelurahan, yakni Kelurahan Rejomulyo, Kelurahan Mlati Baru, Kelurahan Sarirejo, Kelurahan Bugangan, Kelurahan Rejosari, Kelurahan Karangturi, Kelurahan Tempel, serta Kelurahan Kemijen yang sebagian besar kawasan Semarang Utara.
Upaya penanganan banjir yang lain adalah membangun embung (tandon air) di sekitar daerah liran sungai Beringin. Embung ini diharapkan dapat untuk mengurangi dampak banjir di sekitar darah Tugu.
Kota Semarang juga masuk ke dalam program program ACCCRN (Asian Cities Climate Change Resilience Network). Program ini bertujuan untuk mendukung kota-kota di Indonesia untuk membangun ketahanan terhadap perubahan iklim. Terpilihnya Kota Semarang dalam program ACCCRN ini karena keberhasilan Kota Semarang dalam membuat dokumen Strategi Ketahanan Kota Semarang (City Resilience Strategy/CRS) untuk mengurangi kerentanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.
Di dalam dokumen CRS ini dihasilkan strategi-strategi pada sektor-sektor yang paling terkena dampak perubahan iklim yang akan dikembangkan di Kota Semarang seperti, sektor lingkungan, sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, pesisir, dan air bersih.
Tentunya upaya Kota Semarang dalam mengatasi dampak perubahan iklim dapat menjadi pembelajaran bagi daerah-daerah lain yang rentan terhadap perubahan iklim.[ ]


Sumber :
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/02/05/46228
Materi Lokakarya Nasional Integrasi Adaptasi Perubahan Iklim Dan Pengurangan Resiko Bencana Dalam Kebijakan, Pembangunan Dan Penganggaran Keuangan Daerah, 29 Maret 2012




[2] Materi Lokakarya Nasional Integrasi Adaptasi Perubahan Iklim Dan Pengurangan Resiko Bencana Dalam Kebijakan, Pembangunan Dan Penganggaran Keuangan Daerah, 29 Maret 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiwul, Nasibmu Kini

Green Community dan Desa Wisata Konservasi

Cerita Secangkir Kopi