Pertarungan Pengetahuan Dalam Kasus Lapindo
Pengetahuan kita mengenai sesuatu objek memiliki jenjang atau tingkatan. Know What (apa), Know How (bagaimana) dan Know Why (mengapa). Pengetahuan kita tentang sesuatu objek akhirnya membentuk pemahaman terhadap objek tersebut. Pemahaman ini akan berpengaruh pada sikap kita terhadap objek tersebut.
Group Bakrie, sebuah perusahaan yang sejak awal dikaitkan dengan kasus ini juga memiliki media massa. Dari prespekatif pengetahuan, media massa adalah salah satu infrastruktur pengetahuan yang bisa mempengaruhi pemahaman kita terhadap sebuah objek atau kasus. Kepemilikan media massa oleh Group Bakrie ini sedikit-banyak mempengaruhi pertarungan pengetahuan dalam kasus Lapindo.
Indepth Report
Pertarungan Pengetahuan
Dalam Kasus Lapindo
oleh :
Firdaus Cahyadi dan Luluk
Uliyah
Divisi Knowledge Management
(KM)
Yayasan Satudunia
Agustus 2011
Pertarungan Pengetahuan Dalam Kasus
Lapindo
Pertarungan
Pengetahuan
Pengetahuan
kita mengenai sesuatu objek memiliki jenjang atau tingkatan. Know What (apa),
Know How (bagaimana) dan Know Why (mengapa). Pengetahuan kita tentang sesuatu
objek akhirnya membentuk pemahaman terhadap objek tersebut. Pemahaman ini akan
berpengaruh pada sikap kita terhadap objek tersebut.
Group
Bakrie, sebuah perusahaan yang sejak awal dikaitkan dengan kasus ini juga
memiliki media massa. Dari prespekatif pengetahuan, media massa adalah salah
satu infrastruktur pengetahuan yang bisa mempengaruhi pemahaman kita terhadap
sebuah objek atau kasus. Kepemilikan media massa oleh Group Bakrie ini
sedikit-banyak mempengaruhi pertarungan pengetahuan dalam kasus Lapindo.
Di sisi
lain, warga masyarakat pun tidak tinggal diam. Kepemilikan infrastruktur
pengetahuan dari Group Bakrie, dilawan dengan mendirikan radio komunitas,
bulletin dan portal. Tujuannya sederhana memberikan pemahaman terhadap kasus
ini di luar pemahaman yang diberikan media mainstream, termasuk media massa
group Bakrie. Dari sinilah pertarungan pengetahuan dimulai
Inkonsistensi Media
Pemberitaan media terkait semburan lumpur
Lapindo memang sangat beragam. Tetapi kebanyakan berita yang ditampilkan lebih
menguntungkan pihak Bakrie. Salah satunya dengan penyebutan Lumpur Lapindo yang
telah diarahkan menjadi lumpur Sidoarjo.
Penelitian Yayan Sakti Suryandaru, pengamat
media massa Universitas Airlangga, Surabaya, pada periode Januari – Desember
2008, memperlihatkan bahwa media tidak konsisten dalam menyebut lumpur Lapindo.
Sebagian besar media cetak lokal dan nasional lebih memilih menggunakan istilah
Lumpur Sidoarjo dibanding Lumpur Lapindo. Diantaranya harian Media Indonesia
dan Surabaya Post, yang menggunakan istilah Lumpur Sidoarjo. Sedangkan media
lokal seperti Surya dan Jawa Pos terkadang menggunakan istilah lumpur Lapindo,
tetapi tak jarang juga menyebut Lumpur Sidoarjo. Hanya harian Kompas yang masih
menggunakan istilah Lumpur Lapindo.
Tapi di tahun 2011, penyebutan istilah Lumpur
Lapindo dan Lumpur Sidoarjo di media mulai berubah. Harian Kompas yang di tahun
2008 tetap menggunakan istilah Lumpur Lapindo, ternyata mulai Januari 2009
mengubahnya menjadi Lumpur Sidoarjo. Saat ini KOMPAS kembali menggunakan
istilah lumpur Lapindo.
Harian Media Indonesia dan Metro TV justru
sebaliknya. Setelah kekalahan Surya Paloh dalam pencalonan sebagai Ketua Umum
Golkar di tahun 2009, penyebutan lumpur Lapindo kembali digunakan.
Sedangkan media-media milik Bakrie, seperti TV
One, ANTV, Vivanews dan Surabaya Post tetap menggunakan istilah Lumpur
Sidoarjo. Dan ini diikuti oleh Suara Surabaya, Inilah.com, Suara Merdeka,
Jurnal Nasional dan BBC Indonesia. Untuk Detik.com dan Suara Merdeka, keduanya
kadang menggunakan istilah Lumpur Sidoarjo, tetapi kadang juga menggunakan
Lumpur Lapindo.
Sementara media yang masih menggunakan istilah
Lumpur Lapindo adalah Antara, Tempo, Okezone, Pos Kota, dan JPNN.
Bagaimana Media Group Bakrie
Memberitakan Kasus Lapindo?
Group Bakrie selain memiliki usaha tambang,
juga memiliki berbagai media. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK), Group Bakrie mencoba mensinergikan group medianya di VIVA
Group (AnTV, TVOne dan Vivanews.com) dengan group telekomunikasinya.
Presiden Direktur PT Bakrie Telecom Tbk
(BTEL) Anindya Novyan Bakrie memaparkan Bakrie Telecom, Media and Technology
(BakrieTMT2015) akan menyinergikan lini bisnis telekomunikasi (BTEL), media
(VIVA Group) dan teknologi (BConn dan BNET) sampai dengan tahun 2015 di
Jakarta, Kamis (31/3). Untuk sinergi tersebut BTEL akan menanam investasi
senilai Rp 5 triliun[1]
Terkait dengan kasus Lapindo, pertanyaannya
kemudian adalah, bagaimana media Group Bakrie memberitakan kasus Lapindo?
Akhir Mei 2011 lalu, AnTV menanyangkan
program televisi yang berisikan tentang nasib korban semburan lumpur Lapindo.
Selama hampir satu minggu, TV milik Bakrie ini memenuhi televisinya dengan
program-program semacam itu. Sementara itu TV One, TV milik group Bakrie yang
lain, telah beberapa minggu sebelumnya menayangkan program pengajian di TVnya
“Damai Indonesiaku” dengan mengambil lokasi di Porong, Sidoarjo.
Pesan yang disampaikan sama. Persoalan
semburan lumpur Lapindo telah selesai, masyarakat korban semburan lumpur
Lapindo telah hidup sejahtera dengan ganti rugi yang diterimanya, Bakrie adalah
orang yang baik, yang meskipun telah ditetapkan tidak bersalah oleh pengadilan,
tetapi masih membantu korban semburan lumpur, tidak ada kerusakan lingkungan,
dan penyebab semburan lumpur adlah gempa Jogja.
Tak ada gambaran sedikitpun tentang derita
warga yang rumahnya ditenggelamkan lumpur, orang-orang yang masih tinggal di
pengungsian tol Besuki, anak-anak yang tidak bisa sekolah, warga yang menderita
sakit karena menghirup gas beracun, ekonomi warga korban yang kocar-kacir,
rusaknya infrastruktur dan sarana publik, hingga hancurnya lingkungan di
kawasan Porong.
Sementara itu, pada saat yang sama, 29 Mei
2011, ratusan warga dari seluruh desa di Porong, Sidoarjo, yang wilayahnya
terkena dampak semburan lumpur Lapindo, berunjukrasa dengan berjalan kaki di
sepanjang Jalan Raya Porong. Aksi dilanjutkan dengan menggelar istigosah atau
doa bersama di pinggir tanggul kolam penampungan lumpur di Desa Jatirejo,
Porong, Sidoarjo. Tuntutan warga masih tetap sama, meminta pemerintah tegas
dalam melindungi hak-hak warganya yang telah ditenggelamkan lumpur Lapindo.
Aksi tersebut ramai diberitakan oleh media,
baik di tingkat nasional maupun media lokal di Jawa Timur. Karena saat itu
adalah lima tahun Lapindo telah menenggelamkan kota Porong. Namun aksi ini tak
diberitakan secara proporsional oleh media-media milik Bakrie, macam TVOne,
ANTV dan VivaNews.
Kejadian seperti itu bukan kali itu saja
terjadi. Pada peringatan semburan lumpur Lapindo di tahun sebelumnya, ANTV
menayangkan sinetron yang isinya tentang nasib korban lumpur Lapindo yang
digambarkan telah keluar dari penderitaan. Bahkan di dalam sinetron tersebut
diceritakan sosok Bakrie yang pemurah, meski telah dinyatakan tidak bersalah
sebagai penyebab semburan lumpur, tetapi tetap mau mengganti lahan masyarakat
yang terendam lumpur.
TV
One menyebut semburan lumpur sebagai lumpur Sidoarjo bukan lumpur Lapindo[2].
Bahkan TV itu secara khusus mewawancarai pakar geologi Rusia Dr. Sergey Kadurin yang menyatakan semburan lumpur adalah akibat
gempa bumi bukan akibat kesalahan pengeboran[3]. Sementara pendapat pakar yang menyatakan bahwa semburan
lumpur akibat pengeboran tidak diwawancarai.
Hal yang sama juga terjadi di ANTV. Televisi milik Group
Bakrie itu juga menyebut semburan lumpur sebagai lumpur Sidoarjo bukan lumpur
Lapindo. ANTV juga menayangkan pendapat Dr. Sergey Kadurin yang menyatakan semburan lumpur adalah akibat
gempa bumi bukan akibat kesalahan pengeboran[4]. Seperti halnya TV One, pakar yang menyatakan bahwa semburan
lumpur akibat pengeboran tidak dimintai pendapat.
Hal yang sama juga terjadi pada vivanews.com. Portal berita
milik Group Bakrie itu juga menyebut semburan lumpur sebagai lumpur Sidoarjo,
bukan lumpur Lapindo. Di saat yang hampir bersamaan pula portal berita itu
menampilkan pendapat pakar geologi Rusia yang menyatakan semburan lumpur bukan
akibat pengeboran[5]. Liputan khusus terhadap pakar Rusia juga ditampilkan
secara audio-visual di portal vivanews.com[6].
Pengalihan istilah dari “Lumpur Lapindo”
menjadi “Lumpur Sidoarjo” ini sengaja dilakukan, terutama oleh media-media
milik Bakrie, dengan tujuan untuk pencitraan dan mengaburkan persoalan yang
selama ini terjadi. Penghilangan istilah “Lumpur Lapindo” sejatinya telah
menghilangkan nama perusahaan Lapindo Brantas dari pusaran kasus ini. Dengan
makin seringnya istilah “Lumpur Sidorajo” digunakan, maka masyarakat akan
digiring bahwa semburan lumpur ini bukan disebabkan oleh kesalahan pihak
Lapindo Brantas dalam pengeboran gas di Sumur Banja Panji 1 ini.
Padahal, kasus Lapindo tidak sekedar
persoalan semburan lumpurnya saja. Tetapi ada persoalan tak adanya akses informasi
untuk warga terhadap bahaya lumpur, perijinan tambang migas di kawasan padat
huni, serta pengelolaan migas secara umum.
Informasi
Kasus Lapindo yang Tak Periodik
Meskipun kejadian semburan lumpur Lapindo
telah lima tahun lamanya, intensitas pemberitaannya dari waktu ke waktu justru
semakin menurun. Kasus Lapindo hanya dimuat pada waktu-waktu tertentu saja,
seperti peringatan 5 tahun semburan lumpur Lapindo. Ketika warga melakukan demo
besar-besaran menuntut ganti rugi yang sering tersendat. Atau ketika ada warga
yang sakit parah karena bermunculannya gelembung-gelembung gas beracun di
lingkungannya.
Padahal, masalah Lapindo tidak berhenti
disitu saja. Banyak hal yang telah
dihancurkan akibat semburan lumpur Lapindo. Ketika informasi yang disampaikan
kepada public terputus-putus, maka masyarakat tak bisa memahami kasus Lapindo
secara menyeluruh.
Belum lagi kedalaman informasi yang
disampaikan. Seringkali informasi yang disampaikan oleh media hanya informasi
singkat kejadian. Kurangnya penggalian informasi membuat informasi yang
disajikan menjadi tidak mengena. Kaitan kejadian satu dengan yang lain
seringkali tak dihubungkan, sehingga membuat berita yang disajikan mentok
disitu saja. Akhirnya, tak ada informasi baru menjadi alasan bagi media untuk
tak memberitakan kasus Lapindo.
Gagal
Membangun Sikap Kritis
Pemberitaan media dalam memberitakan kasus semburan lumpur Lapindo tak
mampu membangun sikap kritis masyarakat. Ini terlihat dari sudut pandang
pemberitaan yang seragam. Hampir semua media massa mengambil sudut pandang soal
ganti rugi. Secara sadar atau tidak, sikap ini turut mengukuhkan wacana yang
dibuat oleh pihak Lapindo, yang menggeser permasalahan semburan lumpur Lapindo
menjadi hanya sekedar persoalan jual beli asset.
Padahal, persoalan semburan lumpur Lapindo bukan sekedar jual beli
asset. Masih banyak persoalan yang lain, seperti hilangnya tatanan social dan
sejarah warga, tercemarnya lingkungan, udara dan air tanah warga, hilangnya
kesempatan anak-anak untuk meneruskan sekolah, hancurnya tata produksi warga,
meningkatnya biaya kesehatan, hilangnya tali persaudaraan dan sebagainya.
Kondisi ini pernah dikritik oleh Ketua Pusat HAM Ubaya, Yoan Nursari
Simanjuntak. Media dianggap belum mampu menjalankan kode etik jurnalistik secara tepat. Harusnya media melakukan
liputan terhadap analisis resiko secara menyeluruh. Sehingga dapat menjalankan
fungsi-fungsi jurnalisme, dengan memperbanyak tulisan tentnag lingkungan,
korban, potensial korban dan dampak semburan lumpur Lapindo secara menyeluruh
dan seimbang.
Fenomena ini tak dapat
dipungkiri berkaita erat dengan membanjirnya “iklan” Lapindo di media massa.
Jika di bulan Agustus 2006 Lapindo memasang iklan sehalaman penuh di beberapa
media cetak nasional dan daerah, setelah itu, Lapindo menggunakan tangan para
pakar dan akademisi untuk menyampaikan missinya.
Dalam tesis Anton Novenanto,
dijelaskan bahwa untuk kasus semburan lumpur Lapindo, group Bakrie (bukan
Lapindo) menyediakan dana sebesar 1 milyar rupiah untuk satu media. Dana itu
digunakan hanya untuk pendekatan komersial agar bisa masuk ke media massa.
Lewat dana ini, yang dikemas dalam bentuk belanja iklan, kekritisan media
diuji.
Tak Cuma itu saja, Group
Bakrie juga memproduksi surat berita Solusi dan mengelola situs www.mudvolcano.com
untuk membanjiri informasi kepada masyarakat.
Voice of Voiceless
Pemberitaan media terhadap
kasus semburan lumpur Lapindo yang sedikit sekali berpihak kepada masyarakat
korban, memunculkan media-media alternatif yang dikelola masyarakat korban
lumpur Lapindo, untuk menyampaikan kepada public tentang kondisi di Porong yang
sebenarnya.
Sebut saja portal
korbanlapindo.info, radio Suara Porong, Radio Kanal Besuki Timur (KBT),
newsletter Kanal, blog dan komunitas video yang banyak muncul di masyarakat
sekitar semburan lumpur Lapindo.
Media alternative warga
korban lumpur Lapindo ini, selain untuk mengabarkan apa yang sesungguhnya
terjadi di masyarakat korban semburan lumpur Lapindo, juga untuk mengimbangi
infomrasi-informasi yang disampaikan oleh media mainstream sehingga masyarakat
dapat menangkap kejadian secara utuh.
Bagi masyarakat korban
sendiri, media-media ini dapat menjadi pencerahan dan menyambungkan informasi
kejadian yang terjadi di masyarakat korban itu sendiri.
Tentu saja, media
alternative yang dibuat oleh masyarakat korban semburan lumpur Lapindo, bukan
untuk menandingi media-media besar,
terutama media-media milik Group Bakrie. Karena media alternative warga ini
jangkauannya terbatas. Masyarakat korban hanya ingin informasi yang muncul di
public seimbang dan menyuarakan suara masyarakat korban, yang makin tak banyak
disuarakan.
Publik percaya yang mana?
Gencarnya pemberitaan
terkait kasus Lapindo yang dilakukan oleh media-media milik Group Bakrie
ternyata tak mempengaruhi persepsi masyarakat luas.
Hasil survey online Lima
Tahun Lumpur Lapindo yang dilakukan SatuDunia pada bulan Mei 2011, dengan 72
responden yang mengisi kuisioner, semua responden masih mengingat peristiwa
semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang terjadi pada 29 Mei 2006 lalu.
Penyebab semburan, yang oleh pihak Lapindo
selalu digembar-gemborkan karena bencana alam gempa Jogja, baik di media cetak,
maupun televisi, hingga iklan-iklan yang ditebarkan group Lapindo, ternyata tak
mempengaruhi persepsi publik. 99%responden menyatakan bahwa penyebab semburan
lumpur terkait dengan kegiatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo.
Terkait dengan pemberitaan di media
massa, para responden menganggap Metro TV, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia
dan Detik.com yang paling baik mengulas kasus semburan lumpur Lapindo.
Diantara media
televisi berikut, media mana yang paling baik memberitakan persoalan lumpur
Lapindo?

Diantara media
massa (koran) cetak berikut ini, media mana yang pemberitaannya paling baik
terkait kasus Lapindo?

Diantara media
online berikut, media mana yang paling baik mengulas kasus lumpur Lapindo?

Meski media-media milik Group Bakrie terus
menerus melakukan pencitraan pada kasus semburan lumpur Lapindo, dengan
mengarahkan penyebab semburan karena bencana alam, hingga menyampaikan kepada
public bahwa masyarakat korban semburan lumpur Lapindo telah sejahtera dengan
ganti rugi yang diberikan oleh Lapindo, tetapi publik yang diwakili oleh
responden survey online SatuDunia menyatakan bahwa sebagian besar tidak percaya
dan meragukan informasi tentang kasus lumpur Lapindo yang diberitakan oleh
media massa Group Bakrie.

Responden pun sebagianbesar setuju bahwa
kasus semburan lumpur Lapindo ini bukan sekedar kasus semburan lumpur, tetapi
terkait dengan persoalan perijinan tambang di kawasan padat huni dan
liberalisasi sector munyak dan gas bumi di Indonesia.
Bagaimana anda
melihat kasus semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo?

Dalam lomba Penulisan
Artikel Lima Tahun Kasus Lapindo “KASUS LAPINDO Yang Saya Tahu” yang diikuti
oleh 47 peserta dari berbagai daerah, seperti Palembang, Jawa Tengah,Jawa
Timur, Jakarta, Medan dan beberapa kawasan lain, semua peserta menyampaikan
bahwa semburan lumpur di Sidorajo bukanlah bencana alam, tetapi terkait dengan
aktivitas pengeboran yangdilakukan oleh Lapindo.
Dan ini seiring dengan
pernyataan yang pernah diampaikan oleh Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada saat
Debat Calon Presiden Republik Indonesia putaran pertama, 18 Juni 2009. SBY
menyampaikan bahwa Lapindo sebagai penyebab semburan lumpur.[ ]
Sumber
:
- http://www.dimasprasetyo.net/perang-media-dan-kepentingan-antara-metro-tv-tv-one-1716
- http://www.harianbhirawa.co.id/demo-section/berita-terkini/10182-akademis-ingatkan-peran-media-dalam-kasus-lapindo
- http://www.antaranews.com/berita/1274866466/media-tak-konsisten-beritakan-lumpur-lapindo
- http://korbanlapindo.blogspot.com/2008/07/permaluan-umum-bagi-simpatisan-lapindo.html
- http://novenanto.wordpress.com/2010/07/17/kasus-lapindo-keterbukaan-informasi-publik-dan-peran-media-massa/
- http://mediaindependen.com/uncategorized/2011/02/02/lippo-akuisisi-berita-satu.html
- Media tak Konsisten Beritakan Lumpur
Lapindo, Republika, 27 Mei 2010
- Novenanto, A. , 2009, Mediated Disaster.
- Wawancara dengan Mujtaba Hamdi, B. Catur
Nusantara dan Imam Sofwan
- http://www.youtube.com/watch?v=F9H1X8cMaoE
- http://www.youtube.com/watch?v=vLlvU9pcVZU
- http://video.vivanews.com/read/11227-wawancara-dengan-pakar-geologi-rusia-tentang-penyebab-lumpur-sidoarjo
- http://www.youtube.com/watch?v=CETYp5d3oEg
- http://www.investor.co.id/bedahemiten/era-konvergensi-di-mata-bakrie-telecom/8867
- http://nasional.vivanews.com/news/read/180457-lumpur-sidoarjo-bukan-
[2] Penyebutan semburan lumpur
dengan lumpur Sidoarjo mengarahkan opini publik bahwa semburan itu adalah
bencana alam bukan akibat pengeboran.
[6] http://video.vivanews.com/read/11227-wawancara-dengan-pakar-geologi-rusia-tentang-penyebab-lumpur-sidoarjohttp://www.satudunia.net/system/files/Indept%20Report%20Lapindo%20Agustus%202011.pdf
Komentar
Posting Komentar