Buruh Tani Menjawab Perubahan Iklim


Saat ini, dari 4 kelompok buruh tani di Kecamatan Pakis Jaya yang belajar Sekolah Iklim bersama Konsorsium Petani Karawang, telah berkembang menjadi 8 kelompok yang mencapai kawasan Tempuran, Cilamaya dan Lemahabang. Lahan yang dikelola pun telah mencapai 14,5 hektar dengan 40 anggota buruh tani. Ditambah satu kelompok ternak di Lemahabang.

Dengan sekolah iklim ini harapannya dapat membuka mata bagi pemerintah, bahwa masyarakat memiliki cara-cara yang arif dalam menghadapi perubahan iklim, tanpa harus mengandalkan dari dana-dana utang luar negeri.


“Alhamdulillah, pada tanam pertama kami bisa menghasilkan 8 ton gabah dengan luas lahan 2 hektar ini”
Itu ungkapan pak Nur Ali (40 tahun), seorang buruh tani yang saat ini bersama anggota kelompoknya bersama-sama menggarap sawah yang disewanya.

Pak Nur Ali telah puluhan tahun menjadi petani. Dia tak pernah mau menyebutnya sebagai petani, karena dalam pandangan awam, menjadi petani berarti memiliki sawah dan mengolahnya. Sementara dia selama ini hanya mengolah sawah milik orang lain. Buruh tani atau petani penggarap sebutan di sana. Selama ini ia menjadi buruh tani yang bekerja pada orang-orang kaya, yang sebagian besar pemilik sawahnya adalah orang Jakarta. Upahnya pun tak banyak, hanya sekitar Rp 35.000 – Rp 40.000 per hari. Itu pun tak tiap hari bisa dia dapatkan.

Namun dalam dua musim tanam ini dia dapat merasakan menjadi petani yang sebenarnya, mengolah sawah bersama 5 temannya.

Usaha ini bukannya tanpa perjuangan. Selama ini buruh tani tak mendapat tempat di mata pemerintah. Tak termasuk juga dalam data BPS. Dalam setiap program penyuluhan yang dilakukan oleh Dinas Pertanian pun, mereka tak dihitung, karena mereka tak memiliki lahan. Yang dihitung hanyalah pemilik lahan pertanian, yang belum tentu tinggal di wilayah tersebut.

Inilah yang saat ini banyak terjadi di kampungnya.

Ratusan hektar sawah di Pakisjaya dan kawasan lainnya di Karawang ternyata banyak dimiliki oleh orang-orang kaya dari Jakarta, yang dibelinya dari petani-petani kecil untuk tujuan investasi. Fenomena ini pernah dijelasakan oleh Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor Bidang Sumber Daya dan Pengembangan Hermanto Siregar, pada Juli 2008 lalu, yang menyatakan bahwa 30-40 persen lahan sawah, terutama yang dekat dengan perkotaan, beralih kepemilikannya. Dan Sekitar 70 persen sawah yang beralih kepemilikan tetap dipertahankan untuk usaha tani.

Dia pun puluhan tahun memburuh pada “orang Jakarta”.

Bersama 9 buruh tani lainnya Pak Nur Ali membentuk kelompok Tani Jaya untuk mengolah satu hektar sawah yang disewanya atas bantuan Konsorsium Petani Karawang. Namun di tengah jalan, hanya tersisa 6 orang, yang terus menggarap lahan sawah tersebut hingga kini.

Dia pun harus mencari lahan yang cukup jauh dari dusunnya, Teluk Bunyu ke Tanjungjaya, yang jaraknya lebh dari 10 km, untuk mencari sawah yang tak terkena banjir dan sesuai harga sewanya.

Namun, cuaca yang tak menentu seperti saat ini, membuat Pak Nur Ali harus menghitung secara cermat kapan dia harus tandur (menanam padi). Kalau tidak, maka gagal panen akan menghadangnya.

Betapa tidak, daerah Pakisjaya dan sekitarnya kerap kali terkena banjir besar. Pada Maret 2008, banjir besar telah menggenani 11 kecamatan di Kabupaten Karawang. Di Kecamatan Pakisjaya saja, banjir menyebabkan 1.915 rumah tergenang, 787 hektar sawah dan 210 hektar tambak turut tergenang.  Di kecamatan ini, desa yang terparah terkena genangan banjir adalah Desa Tanah Baru. Ratusan rumah terendam. Sedangkan di Desa Telaga Jaya ketinggian air di rumah-rumah penduduk mencapai 30 cm. Sedangkan di persawahannya mencapai setengah meter.

Akibat banjir ini pun menyebabkan petani dan buruh tani tak bisa lagi mengolah sawahnya. Mereka tak punya modal lagi untuk memulai mengolah sawahnya. Padahal pertanian adalah tonggak satu-satunya ekonomi mereka. Sebuah media mencatat, tak kurang 7.000 petani dan buruh tani di kawasan tersebut rame-rame beralih menjadi pemulung di TPA Bantar Gebang, Bekasi. Yang paling banyak berasal dari Kecamatan Rengasdengklok, Batujaya, dan Pakisjaya, kawasan yang terkena banjir paling parah.

Di Maret 2010 kawasan ini kembali diterjang banjir. Banjir besar kali ini menggenani 7 kecamatan. Diperkirakan kerugian mencapai Rp 3 Miliar lebih, karena sawah yang tergenang mencapai 961 hektar. Sementara di Kecamatan Pakisjaya terhitung 1.533 rumah terendam dan 4.545 orang mengungsi.

Mereka pun terpaksa memanen padinya lebih awal. Padahal, padi baru berumur 80 hari. Belum cukup umur untuk dipanen. Lahan Pak Hariri yang luasnya mencapai 2.000 meter persegi hanya mendapatkan 900 kg gabah. Biasanya dia bisa mendapatkan hasil lebih dari 1,35 ton. Ini karena bulir padinya belum optimal berkembang. Ada juga yang hampa dan busuk.

Dengan hasil panen yang kecil tersebut tak mampu menutupi biaya produksi. Padahal mereka harus memikirkan musim tanam berikutnya. Juga biaya kebutuhan hidup mereka, yang turut melonjak karena banjir.

Cuaca Tlah Berbeda

Di tahun 2011 ini pun cuaca juga tak lagi sama. Pak Nur Ali mengira dia bisa tandur pada bulan Januari, seperti waktu-waktu sebelumnya. Tapi ternyata hujan yang terus menerus membuat waktu tandur juga turut mundur, hingga di awal bulan Maret.

Di beberapa desa bahkan ada yang terkena banjir. Mereka tak bisa tandur dengan kondisi sawah tergenang atau curah hujan yang masih tinggi. Akibatnya, waktu penyemprotan dan panen pun akan turut mundur pula.

Dia harus memutar otak untuk bisa mencukupi hidup keluarganya, juga biaya sekolah anaknya. Hasil bawon dari musim sebelumnya telah habis untuk kebutuhan sehari-hari. Yang bisa dilakukan hanyalah meminjam uang kepada tetangganya yang lebih mampu, dengan janji akan dibayar kelak setelah panen. Ada juga yang menjadi kuli serabutan, mencari kodok, ikan hingga menjadi pemulung di Bantar Gebang.

Pinjam meminjam uang memang jamak dilakukan masyarakat di sana. Bahkan dulu ketika dia menjadi penggarap sawah orang, dia selalu meminjam uang kepada pemilik lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan dibayarkan ketika waktu panen tiba. Tentu bisa dibayangkan berapa uang yang bisa dibawa pulang, karena setelah dipotong dengan segala macam pinjaman, nyaris tak ada uang tersisa yang bisa dibawa untuk keluarganya. “Pinjam uang bayar tenaga”, itu ungkapan diantara para buruh tani untuk mereka sendiri.

Tak Cuma para lelaki yang turun ke sawah. Para istri buruh tani ini pun turut serta mengolah sawah. Biasanya mereka menjadi buruh teblok (membersihkan rumput saat padi berusia muda). Meraka tak diupah selama meneblok. Tetapi kelebihannya, mereka punya hak untuk memotong padi saat panen tiba. Orang lain tak boleh memotong di wilayah yang sudah diteblok. Ini pula yang dilakukan oleh Bu Rus, istri Pak Nur Ali. Musim lalu, bersama seorang temannya dia meneblok 4 petak sawah. Dan di saat panen mereka mendapatkan 5 karung gabah.

Bangkit Bersama Konsorsium

Cuaca yang tak menentu ini membuat Pak Nur Ali dan buruh-buruh tani lainnya harus pintar-pintar membaca cuaca. Biasanya 6 bulan hujan dan 6 bulan kemarau. Tapi sekarang tak bisa diprediksi lagi. Harusnya sudah masuk musim kemarau, tetapi hujan masih turun deras dan di beberapa wilayah malah kebanjiran. Sementara itu, di musim hujan kawasan mereka malah kering. Bahkan di tahun 2005 para petani di sana sampai harus menyedot air karena cuacanya terlalu kering.

Selama ini pemerintah tak pernah memperhatikan buruh tani, pun bagaimana cara bertani yang menyesuaikan perubahan iklim. Tak ada informasi kapan waktu yang tepat untuk bertanam, jika cuaca makin tak menentu seperti saat ini. Kalaupun ada penyuluhan, itu hanya dilakukan untuk kelompok tani besar dan para pemilik sawah. Tak pernah sampai ke buruh tani.

Buruh tani tak pernah tersentuh oleh program-program pemerintah. Tak ada akses permodalan untuk mereka, karena mereka tak memiliki jaminan. Keberadaan mereka pun sering tak terdaftar di Dinas Pertanian. Kalaupun terdaftar, itu hanya petak lahannya saja, tapi orang-orangnya tidak. Inilah mengapa ketika ada subsidi pupuk dari pemerintah, para buruh tani dan penggarap sawah ini tak mendapat keringanan sedikit pun. Mereka tak mendapat akses pupuk murah, karena subsidi diberikan kepada para pemilik lahan, yang ternyata banyak dimiliki oleh orang-orang kaya dari kota lain, seperti Jakarta. Buruh tani dan penggarap harus membeli pupuk dengan harga pasaran yang cukup mahal.

Kehadiran Konsorsium Petani Karawang sangat membantu kehidupan para buruh tani di sana. Dengan membentuk Kelompok, mereka mendapatkan pinjaman untuk menyewa lahan, biaya menggarap sawah, pupuk hingga pestisida. Ketika masa panen tiba, mereka akan mendaptakan bagian sebesar 75 persen dari hasil panen setelah dipotong modal. Sisanya, 25 persen akan dikembalikan ke Konsorsium untuk diputarkan kepada Kelompok buruh tani yang lain. Dari 75 persen tersebut, 10 persen disisihkan untuk investasi. Jika investasi berlanjut, pada musim ke enam, para buruh tani akan memiliki modal sendiri untuk menyewa lahan.

Hasil ini cukup tinggi dibandingkan sewaktu memburuh mengelola sawah milik orang-orang kaya. Mereka hanya mendapatkan Rp 35.000 – Rp 40.000 per hari, yang tak tiap hari mereka dapatkan.

Musim lalu Pak Nur Ali mendapatkan hasil bersih Rp 8 juga. Setelah dikurangi 25 persen untuk Konsorsium, tiap-tiap anggota kelompok mendapatkan hasil Rp 1 juta per orang. Itu belum termasuk bawon yang didapat dari hasil panen. Selain dari Bawon, Pak Nur Ali dan kawan-kawannya juga mendapatkan tambahan dari biaya garapan, karena mereka menggarapnya sendiri, sehingga biaya tersebut kembali kepada mereka.

Bawon adalah bagian yang didapat oleh pengelola sawah sebagai balas jasa dari hasil panen padi. Bawon biasanya diterima dalam bentuk gabah. Setiap daerah memiliki aturan yang berbeda-beda dalam menghitung bawon. Di Karawang dikenal dengan hitungan 6:1. Setiap 6 blek (kotak) gabah yang dihasilkan, pengelola sawah mendapatkan 1 blek dari hasil tersebut.

Belajar dari Sekolah Iklim
Anggota kelompok Tani Jaya senantiasa mendapatkan tambahan ilmu lewat Sekolah Iklim. Jangan dibayangkan sekolah iklim ini seperti sekolah-sekolah yang ada pada umumnya, yang tiap hari duduk di bangku dan mendengarkan gurunya menerangkan di depan bersama kapur dan papan tulisanya. Sekolah iklim ini mengharuskan muridnya untuk langsung turun ke sawah, tak lagi duduk di bangku-bangku sekolah.

Jadwal sekolah lapang biasanya dilakukan di pagi hari, mulai jam 7 sampai jam 9 padi, dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap kondisi tanaman padi dan hama-hama yang ada di tanaman tersebut. Jika lewat jam tersebut, sudah tak efektif lagi, karena banyak hama-hama yang terbawa oleh angin, sehingga tak bisa dilakukan pengamatan dan penghitungan secara pasti.

Pengamatan akan dilakukan dalam satu rumpun yang ditandai dengan patok-patok. Di rumpun tersebut dihitung berapa jumlah hama, musuh alami (serangga pemakan hama) seperti laba-laba/gonggo, penyakit, jumlah anakan tanaman padi, tinggi tanaman padi, kondisi air, dan cuaca. Jika tanaman padi telah keluar malainya maka juga dihitung berapa jumlah anakan yang produktif, panjang malai, jumlah bulir padi. Dari hasil perhitungan inilah nantinya dapat diprediksi berapa hasil panen padi yang akan didapatkan.

Petak pengamatan ini ada 10 titik dari luasan 1.500 m2. Petakan sawah ini nantinya akan menjadi referensi bagi lahan sawah yang lain.

Sekolah lapang ini dilakukan seminggu sekali, setiap hari minggu. Dan setelah melakukan pengamatan di pagi hari, akan dilanjutkan dengan diskusi kelompok untuk membahas hasi temuan, juga kendala-kendala yang dihadapi para petani.

Pak Nur Ali dan kawan-kawannya sangat terbantu dengan sekolah iklim ini. Jika sebelumnya dia tak pernah tahu cara mengatasi hama padi, seperti hama penggerek batang, setelah mendapat informasi dari Sekolah Iklim mereka dapat mengatasi hama penggerek batang. Ini dilakukan dengan mengambil beberapa telur kupu-kupu yang menempel di tanaman padi, kemudian disimpan di rumah dalam wadah plastic yang terang. Jika telur kupu-kupu tersebut telah menetas, berarti di sawah pun kondisinya sama, telur-telur penggerek padi telah menetas pula. Ini berarti waktunya untuk menyemprot hama.
Saat ini mereka menggunakan Guano. Guano adalah pupuk sekaligus pestisida alami, yang berasal dari kotoran kelelawar yang diendapkan selama beberapa hari dan dicampur dengan gula merah. Guano mengandung nitrogen, fosfor dan potassium yang sangat bagus untuk mendukung pertumbuhan dan merangsang akar serta kekuatan batang tanaman. Guano juga mengandung semua mineral mikro yang dibutuhkan oleh tanaman. Jika dibandingkan dengan pupuk kimia buatan, guano tak mengandung zat pengisi. Guano juga tinggal lebih lama dalam jaringan tanah, meningkatkan produktivitas tanah dan menyediakan makanan bagi tanaman lebh lama daripada pupuk kimia. Inilah yang disukai oleh petani. Ketika Guano disemprotkan ke tanah, dia akan menjadi pupuk. Guano lebih alami dan lebih ramah lingkungan.

Guano juga banyak digunakan untuk mengendalikan penyakit, hama penggerek buah dan menangkal wereng. Memang pada saat disemprot dengan guano wereng tidak langsung mati, hanya sekarat saja, tetapi 3 hari kemudian akan banyak ditemukan wereng-wereng yang mati.

Hama tikus pun dapat diusir dengan Guano. Caranya, dengan kadar kekentalan yang lebih tinggi, Guano disemprotkan ke lubang-lubang tikus. Tikus-tikus kemudian akan keluar dari lubang-lubangnya karena tak tahan dengan bau Guano yang cukup menyengat.

Penggunaan Guano pun turut memangkas pengeluaran petani. Sekilo Guano hanya perlu mengeluarkan uang RP 35.000m- dan dapat digunakan untuk 5 kali penyemprotan, tetapi jika menggunakan pestisida kimiawi, petani harus mengeluarkan uang Rp 300.000,- untuk sekali penyemprotan. Karena harga pestisida saat ini mencapai Rp 150.000per botol. Padahal, setiap penyemprotan membutuhkan 2 botol pestisida.

Kualitas padi yang mengguankan Guano pun lebih baik dibanding yang tak memakainya. Harga gabah yang mengguankan Guano mencapai Rp 2.800 per kilo, sedangkan gabah biasa hanya dihargai Rp 2.700 per kilonya.

Anggota Kelompok Tani Jaya kini tak lagi menggunakan pestisida kimiawi. Dari pengalaman selama bertahun-tahun bertani, mereka tahu, pestisida hanya membuat hama-hama makin kebal dengan racun. Contohnya saja walangsangit. Kini walangsangit tak lagi kebal dengan pestisida kimiawi. Setiap disemprot dengan pestisida kimiawi, Cuma bulunya saja yang rontok, walang sangitnya tak mati. Ham akeong mas pun sama, makin disemprot dengan pestisida kimiawi, makin banyak jumlahnya.

Bagi anggota kelompok tani yang telah mendapatkan pencerahan dari Sekolah Iklim, hama tak harus dibasmi, tetapi dikendalikan. Hama wereng misalnya. Wereng suka dengan lahan basah, yang banyak airnya. Untuk mengendalikan hama wereng, cukup dilakukan dengan mengeringkan lahan yang terkena hama wereng, maka secara otomatis hamanya akan pergi.

Saling Belajar dari Sekolah Iklim

Selama ini penyebab makin banyaknya hama tanaman tak lepas dari kesalahan petani sendiri. Ini dikarenakan masa tanam padi tak pernah serempak. Juga waktu penyemprotan antara petak yang satu dengan petak yang lain tak dilakukan dalam waktu yang sama. Akibatnya ketika di kawasan yang satu sudah diselesai disemprot, maka hama akan berpindah ke lahan yang lainnya, yang kebetulan belum disemprot oleh pemiliknya. Inilah yang menyebabkan hama ada terus menerus.

Saat ini, dari 4 kelompok buruh tani di Kecamatan Pakis Jaya yang belajar Sekolah Iklim bersama Konsorsium Petani Karawang, telah berkembang menjadi 8 kelompok yang mencapai kawasan Tempuran, Cilamaya dan Lemahabang. Lahan yang dikelola pun telah mencapai 14,5 hektar dengan 40 anggota buruh tani. Ditambah satu kelompok ternak di Lemahabang.

Dengan sekolah iklim ini harapannya dapat membuka mata bagi pemerintah, bahwa masyarakat memiliki cara-cara yang arif dalam menghadapi perubahan iklim, tanpa harus mengandalkan dari dana-dana utang luar negeri.



[11 Agustus 2011]




Sumber :
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-barat/7.000-petani-jadi-pemulun\
g-di-bantar-g-2.html
http://guanophosphat.blogspot.com/
Wawancara dengan Pak Nur Ali, Maryono dan Said Abbullah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiwul, Nasibmu Kini

Green Community dan Desa Wisata Konservasi

Cerita Secangkir Kopi