Mutiara di Tengah Rimba Cendrawasih
Luluk merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Mereka adalah Muhammad Hidayat, Muhammad Baron, Muhammad Basri, Luluk Uliyah, Muhammad Suhadak, Islamiyah, dan Faizah. Selain sebagai pengayuh becak, ayahnya sempat menjadi penjual telor ayam, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Meski petani, Miskatam mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Dari http://komarudin3.blogspot.com/?zx=439f5de48b13628
Dari http://komarudin3.blogspot.com/?zx=439f5de48b13628
Selasa, 27 September 2011
Mutiara di Tengah Rimba Cendrawasih
Oleh KOMARUDIN
I
JOGOTRUNAN terletak di jantung Kota Lumajang, Jawa Timur. Sepertiga desa itu adalah rumah-rumah penduduk, sisanya sawah yang membentang. Ketika terminal bus masih berada di pusat kota, banyak bus seliweran melintasi kawasan itu jika hendak menuju ke Surabaya, Jember, Banyuwangi. Namun, saat terminal itu pindah ke Sukodono, sisi utara Kota Lumajang, tempat itu tak lagi ramai. Jogotrunan terletak 743 kilometer dari Jakarta dan 112 kilometer dari Surabaya.
Di desa itu, 39 tahun lalu, seorang bayi perempuan lahir. Oleh orang tuanya, Miskatam dan Misnatun, bayi itu disematkan nama Arab “Luluk Uliyah”. Dalam bahasa Indonesia nama tersebut bermakna “mutiara yang tinggi”.
Suatu siang Miskatam dengan becaknya mangkal di depan kantor Kabupaten Lumajang di Jalan Alun-alun Lumajang. Di sana ia berkenalan dengan Suwandi, Bupati Lumajang. Ia adalah seorang yang low profile. Ia sering menyamar sebagai penumpang becak Miskatam saat keliling memantau suasana wilayah, baik siang maupun malam. Hubungan bupati dan pengayuh becak itu pun kian dekat. Suwandi kemudian memberi bantuan proyek sapi perah kepada Miskatam sebanyak 44 ekor karena mampu memelihara sapi.
Kondisi itu pula yang membuat Luluk dan keluarga akrab dengan sapi, bahkan hingga ia duduk di bangku SMA. Miskatam dan Misnatun selalu membangunkan tujuh orang anaknya tiap pagi. Suasana rumah ramai. Suwati, neneknya, sering marah dan berharap mereka tak berisik. Ia tak ingin mengganggu ketenangan tetangga sebelah.
“Kamu itu nggak tahu, tetangga kita priyayi,” bentak Suwati seperti ditirukan Luluk.
“Kita ndak perlu priyayi. Kita itu butuh makan,” sungut Miskatam.
Grumpreng! Bunyi pintu rumah yang terbuat dari seng ditutup. Suasana rumah Miskatam tampak senyap. Semua penghuni telah meninggalkan rumah. Mereka mengayuh sepeda, kecuali Luluk dan ibunya, Misnatun. Mereka berjalan kaki menuju peternakan sapi yang berjarak 500 meter yang berada di tengah sawah.
“Sebelum berangkat ke sekolah pekerjaan saya mengurus sapi,” terang Luluk dengan wajah sumringah.
Miskatam beri Luluk satu anak sapi. Ia harus bertanggung jawab mulai dari membersihkan, memerhatikan minum, makan, hingga selesai menyiapkan buburnya. Anak sapi yang baru lahir itu hidup dipisahkan untuk belajar menyusui. Ia menggigiti tangan Luluk.
“Kamu harus belajar dari yang kecil, baru nanti yang besar.”
“Saya ingin langsung memerah.”
“Nggak bisa. Kamu harus belajar dari yang kecil.”
Berhasil mengurus sapi kecil, Luluk diberi sapi besar, tetapi yang paling pendiam. Setelah mahir membersihkan pantat sapi, ia kemudian beralih membersihkan puting susunya. Jika sudah mahir keduanya, ia diizinkan memerah susu.
“Saya memerah sapi itu sejak SD hingga SMA.”
Sejak itu, Luluk dan Misnatun bertugas manajerial dalam, seperti mengurus penjualan jika ada pembeli yang datang. Sementara Miskatam bertugas sebagai pengantar. Itu sesuai jenjang. Kakaknya yang terbesar mengantar yang paling jauh, menengah, sedangkan Luluk sendiri mengantar yang terdekat dan dapat ditempuh dengan jalan kaki.
“Jam setengah tujuh saya harus kembali ke rumah. Persiapan berangkat ke sekolah.”
Miskatam mendidik ketujuh anaknya dengan disiplin dan keras. Di kampung halamannya di Jogotrunan, sejak kecil Luluk tak punya waktu untuk bermain. Para tetangganya menyebut mereka sebagai “manusia kerja”. Luluk pun jarang main ke rumah tetangga. Kalau pun main, itu hanya sebentar. Ia lalu dipanggil oleh Miskatam diajak belajar ngarit. Miskatam tak suka anak-anaknya bermain. Salah seorang kakaknya pernah berseloroh, “kita itu ikut Jepang karena harus rajin.”
II
RUMAH itu bertingkat. Dibangun di atas tanah seluas 190 meter persegi. Luas bangunan semi permanen itu 4 x 8 meter persegi terbuat dari bambu. Di sebelah rumah itu mengalir anak Sungai Bedadung berair jernih. Orang menyebutnya Kali Mastrip. Letaknya di Jalan Mastrip, Desa Sumbersari, Jember, Jawa Timur, tak jauh dari Politeknik Universitas Negeri Jember. Rumah itu seperti tempat peristirahatan bagi keluarga Miskatam. Hawanya segar laksana di pegunungan. Sumbersari merupakan salah satu ikon konservasi di Jawa Timur, terutama di Jember.
“Orang tua saya beli tanah itu dan membangun rumah dari bambu. Karena lima orang saudara saya kuliah di Jember. Kami tinggal di sana. Rumah saya seperti sekretariat. Tempat mangkal para mahasiswa. Ramai,” jelas Luluk.
Luluk merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Mereka adalah Muhammad Hidayat, Muhammad Baron, Muhammad Basri, Luluk Uliyah, Muhammad Suhadak, Islamiyah, dan Faizah. Selain sebagai pengayuh becak, ayahnya sempat menjadi penjual telor ayam, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Meski petani, Miskatam mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Kesedihan dialami Luluk saat kakak tertua dan ibunya tutup usia. Mereka meninggal dunia hampir berbarengan di hari yang sama sekitar tujuh tahun lalu. Muhammad Hidayat menghembuskan nafas terakhir beberapa saat sebelum ibunya.
“Kata orang-orang, sih, ibu saya sempat berujar, jika kakakmu meninggal, saya akan ikut. Ternyata, benar,” terang Luluk.
Saat peristiwa kematian itu, Miskatam tengah berada di Jember. Namun, ia tutup mulut dan tak memberitahu anak-anaknya.
“Aku mau ke Jember menengok kakak,” Miskatam beralasan seperti ditirukan Luluk saat itu.
Saat Miskatam berangkat dan tiba di sana, istri tercintanya pun meninggal. Ia harus bolak-balik Jember-Lumajang yang dapat ditempuh selama tiga jam.
Selain ditinggal Muhammad Hidayat, peristiwa berat lain yang dihadapi Luluk dan keluarga saat rumahnya di Jember dilumat si jago merah. Siang itu pada 2007, seorang warga tak dikenal membakar daun-daun bambu kering di pinggir sungai. Setelah itu, ia pergi. Cuaca terik. Angin berhembus kencang. Si jago merah merambat ke atas hingga menghanguskan rumah bambu itu. Saksi mata yang berada di tempat kejadian, Bambang. Ia lalu lapor ke Baron. Saat kejadian itu Luluk sudah di Jakarta.
“Bapak tak diberitahu, khawatir ia shock.”
“Namun, ia akhirnya mengetahui peristiwa itu. Sekarang ia bisa menerima kejadian itu.”
“Ada rencana rumah itu akan dibangun kembali oleh kawan-kawan. Bapak sudah menyiapkan bambu-bambunya yang akan diambil dari desa Kabuaran, Kunir, Lumajang.”
III
SINAR matahari sore masih terasa terik. Suasana Jalan Mampang Prapatan tampak lengang. Tak banyak kendaraan yang melintas. Dengan antusias Luluk kemudian menceritakan perjalanan hidupnya hingga ia terlibat dalam organisasi masyarakat sipil.
Luluk menegaskan, ia masuk ke dunia aktivis tanpa ada yang mengajak. Saat menjadi mahasiswa di Jember ia kenal dengan kawan-kawan yang concern dengan konservasi, seperti Walhi Jatim, Pendidikan Lingkungan, kegiatan pencinta alam di Jakarta, Burung Indonesia, Telapa. Dari situ pengetahuan Luluk tentang konservasi kian bertambah.
“Ketertarikan saya dalam dunia organisasi masyarakat sipil mulai saya rintis saat kuliah. Saya kuliah ikut pecinta alam pada 1995, sedangkan masuk kuliah pada 1994.”
Saat mendaki pegunungan Hyang Argopuro, Luluk dijelaskan bahwa naik gunung tidak sekadar mendaki dan menikmati pemandangan, melainkan pula ada wacananya. Karena Luluk dari Jurusan Pertanian, maka harus dihubungkan dengan mata kuliahnya agar tak sia-sia. Misalnya, di kawasan itu terdapat plasma nutfah dan bagaimana cara mengenal vegetasi. Ada berapa vegetasi, jenis-jenisnya, tinggi, serta kanopinya. Luluk menuliskan itu sambil berjalan menghirup udara segar. Ia juga diajarkan tentang analisis burung. Mulai dari nama burung, jenis, suara, warna sayap dan ukurannya, kemudian dicocokkan dengan yang ada di bukunya. Luluk dan kawan-kawan sering bekerja sama dengan Burung Indonesia, dulu Bird Life.
Luluk hijrah ke Jakarta pada Februari 2000 untuk melanjutkan studi di Jurusan Antropologi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Namun, ia hanya mampu bertahan selama tiga semester akibat kehabisan dana.
“Bapak setiap menelepon minta duit. Akhirnya, terjadi dilema antara meneruskan sekolah dengan mencari kerja,” kata Luluk di kantor Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Mampang Prapatan II/30, Jakarta Selatan, lima hari jelang Lebaran.
“Sebenarnya, saya tinggal menyusun tesis, tetapi tidak selesai. Saat itu uang kuliah masih murah. Hanya tiga juta, tetapi sekarang sudah sepuluh juta.”
“Saat itu saya nggak punya strategi. Mau ambil tesis apa, ya?”
“Akhirnya, keburu stres. Cari kerja aja, deh.”
“Kebetulan di keluarga inti juga sedang kolaps. Keenakan cari duit, eh, lupa melanjutkan kuliah.”
Saat jobless pada 2002, ia diminta untuk membereskan perpustakaan Jatam oleh Siti Maimunah—sekarang Koordinator Jatam. Ia merapikan buku-buku yang berserakan selama tiga bulan. Kemudian ia kumpulkan di satu tempat.
Ia lalu gawai di Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) untuk program Rancangan Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA) sekitar 8 bulan. Setelah itu, ia bergiat di Jatam sebagai Staf Administrasi sekitar 5 tahun. Dari Staf Administrasi ke Manajer Office, Manajer Publikasi, Manajer Sektretariat, terakhir sebagai Manajer Penggalangan Sumber Daya Publik.
Luluk melakukan hubungan internal, termasuk jaringan di tingkat nasional. Ia selalu hadir, jika ada undangan rapat, kampanye, yang sekupnya di tingkat Jakarta. Dari situ ia kemudian mengenal beragam kawan dari jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Kehati, Pantau, dan sebagainya.
“Delapan bulan lalu, saya masih bekerja di Jatam. Alasan utama saya pindah dari Jatam ke Satu Dunia untuk menambah wawasan baru,” jelas Luluk.
IV
SUASANA rumah yang difungsikan sebagai kantor itu terlihat sepi. Luluk melangkah lambat memasuki rumah bercat putih. Ia lalu duduk bersila di atas tikar lampit, buku catatan dan pulpen hitam di letakkan di atas meja setinggi sekitar 30 sentimeter. Di sebelah kanan terdapat kipas angin yang sedang berputar.
“Sekarang saya bekerja di Satu Dunia menangani Isu Lingkungan dan Perubahan Iklim, tetapi masih berkaitan dengan isu sumber daya alam. Namun, saya lebih fokus menulis, meng-capture pengetahuan agar bisa ditransformasikan,” ujar perempuan berjilbab itu.
Satu Dunia merupakan lembaga yang fokus dalam pertukaran pengetahuan di antara organisasi masyarakat sipil (OMS). OMS kadang-kadang tak sadar punya banyak pengetahuan. Namun, ketika salah satu pekerjanya pindah, maka pengetahuan yang mereka miliki pun menyusut. Luluk mencontohkan dirinya saat pindah dari Jatam ke Satu Dunia. Untuk mengatasi itu, ia memperkenalkan kepada teman-teman di Jatam bagaimana mengelola media, berhubungan dengan wartawan, dan apa yang harus dilakukan dengan publik terkait dengan informasi.
“Itu saya lakukan agar saat saya keluar, mereka tidak gagap dengan informasi tersebut.”
Meski telah pindah tempat kerja, hubungan Luluk dengan Jatam berjalan baik. Hal itu bisa dipahami, karena semasa bekerja di Jatam, ia sering berhubungan dengan Satu Dunia. Begitu pun sebaliknya. Misalnya, ia menjadi narasumber tentang apa yang harus dilakukan internal organisasi non pemerintah (Non-Governmental Organizations) untuk menguatkan informasi yang mereka miliki. Ia juga tetap diikutsertakan jika membicarakan isu Lapindo dan kampanye-kampanye yang dilakukan Jatam.
“Jadi, saya sebenarnya tidak pindah karena tugas saya nggak jauh beda saat di Jatam.”
Luluk tertawa saat disinggung mengenai keluarga. Tangan kirinya memutar-mutar pulpen hitam. Ia mengatakan menikah dengan Abdul Salam, teman kuliah di Universitas Indonesia. Ia kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka terpaut usia dua tahun. Saat ini suaminya bekerja sebagai peneliti independen. Dari perkawinannya mereka dikaruniai dua anak : Rizki Rimba Ramadhan dan Nur Intan Cenderawasih.
Sebelum berangkat ke kantor, ia harus mengurus, mengatur makan, mengantar ke sekolah, dan menunggu anaknya di Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairiyah, Mampang, Jakarta Selatan. Ia baru berangkat ke tempat kerjanya di Tebet, Jakarta Selatan, tiap pukul 10.00. “Jam sepuluh belum ada aktivitas, maka saya fokus mengurus anak. Saat anak masih TK, saya nungguin,” katanya.
Suatu kali Luluk terbang ke Hyderabad, India, pada 16-19 Maret 2009. Ia harus menghadiri workshop Women and Mining Conference (Konferensi Perempuan dan Tambang) mewakili Siti Maimunah Koordinator Jatam yang tak bisa hadir. Hari pertama ditinggal Luluk, Rimba menggigit tangan gurunya, Nurfah.
“Dari situ saya dipesan, Rimba datang ke sekolahnya kalau mamanya sudah pulang saja,” kata Lulu tertawa.
Ia terlalu aktif dan perlu perhatian penuh. Tak mau menulis dan sering mengambek. Akibat terlalu aktif, Luluk terpaksa harus masuk ke sekolah. Jika tidak, ia akan mengganggu teman-temannya.
“Saya akhirnya diminta masuk ke dalam sekolah. Setahun saya sekolah lagi,” kenang Luluk tersenyum.
“Setiap minggu saya juga menerima panggilan dari sekolah.”
“Bu, anaknya nggak mau nulis. Rimba main terus, pekerjaannya nggak selesai,” Luluk menirukan ucapan seorang guru. Luluk tertawa.
Sekarang Rimba masih seperti itu, meski usianya sudah 8 tahun dan duduk di bangku kelas III SD. Berbeda dengan Nur Intan Cendrawasih. Usianya empat tahun, tiga bulan. Ia lebih mudah dikendalikan dan pendiam. Ia tak mau menegur, jika tidak ditegur lebih dulu. Ia senang di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), tak mau di Taman Kanak-kanak (TK). Hati Luluk luluh.
“Saya fokus dengan keluarga karena bagaimana pun mereka tetap nomor satu. Jika kerja waktu libur, saya kadang-kadang ajak Rimba dan Intan.”[ ]
Komentar
Posting Komentar