Hancurnya Hutan Lindung Wanggameti
4
Agustus 2011, seribuan warga Desa Katikutana, Katiku Wai, Katiku Luku,
Wanggameti, Karipi, dan Prai Bakul di Kecamatan Matawai Lapawu, Kabupaten Sumba
Timur, Nusa Tenggara Timur, melakukan aksi menolak tambang emas PT Fathi
Resource. Masyarakat meminta perusahaan tambang menghentikan eksplorasinya,
karena menambang di sekitar kawasan Taman Nasional
Laiwangi-Tabundung-Wanggameti.
Ini
bukan kali pertama. Tahun lalu, ratusan warga dari 7 desa di sekitar Taman Nasional
melakukan aksi serupa, selama 4 hari berturut turut, dari tanggal 7 hingga 11
Mei, di depan kantor Bupati Sumba Timur.
Tak
cuma aksi. Juli kemarin, warga mengirimkan surat kepada para bupati di Sumba
dan Gubernur NTT, menolak tambang di wilayahnya. Sayangnya, tak ada tanggapan
dari pemerintah.
Penolakan
warga bukan tanpa alasan. Tambang emas PT Fathi Resources terletak di kawasan
Taman Nasional Laiwangi-Tabundung-Wanggameti. Taman nasional ini merupakan
sumber air bagi 65 sungai dari 88 sungai yang ada di Sumba Timur. Di sini juga
terdapat 114 mata air dan menjadi hulu dari daerah aliran sungai terbesar di
Sumba, DAS Kambaniru, serta sungai-sungai yang lain, seperti Luku Lungan, Luku Kanabu
wai dan Luku Melolo. DAS Kambaniru yang luasnya mencapai 184 ribu hektar dan
DAS Melolo seluas 24 ribu hektar mengairi lahan pertanian dan menjadi sumber
air minum warga.
Keberadaan
tambang mengancam sumber-sumber air warga. Ini terbukti, setelah mendapat ijin menambang
di Wanggameti pada tahun 2009, 6 bulan kemudian muncul kerusakan lingkungan. Sungai-sungai
di sekitar kawasan eksplorasi mulai keruh dan endapan sedimen meninggi. Di
beberapa sungai, ikan-ikan ditemukan mati. Debit air Telaga Lai Lowang di desa
Wanggameti menyusut, karena digunakan untuk kegiatan tambang. Padahal, telaga
ini dimanfaatkan masyarakat desa sekitar, seperti Desa Nangga, Desa Karipi, Desa Kati Kuwai dan
Desa Tandula Njangga, untuk kehidupan sehari-hari. Longsor juga terjadi pada
salah satu titik eksplorasi di Sungai Kapunduk.
Ancaman
tambang ini diawali ketika PT BHP (Broken Hill Property) mendapatkan ijin
Kontrak Karya (KK) pertambangan emas tahun 1998 di Wanggameti. Luasnya sekitar
160.180 hektar. Warga menolak ijin tambang tersebut. Di tahun 2008 KK
dihentikan.
Ternyata,
di tahun yang sama, 2008, pemerintah daerah Sumba Timur mengeluarkan ijin Kuasa
Pertambangan (KP) kepada PT Fathi Resources. Sahamnya dimiliki Hillgrove Resources (Australia) 80 % dan sisanya PT Fathi
Resources. Luas konsesinya mencapai 3.313 hektar. Atau separuh luasan Kabupaten
Sumba Timur yang hanya 7 ribu hektar.
Pada
Nopember 2009, Bupati Sumba Timur mengganti KP menjadi Izin Usaha Pertambangan
(IUP), untuk menyesuaikan dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara. Sebagian wilayah tambangnya masuk dalam Taman Nasional Laiwangi –
Wanggameti. April 2010, perusahaan ini melakukan ekaplorasi.
Harusnya
tambang tak boleh beroperasi di kawasan ini. Lokasi tambang sebagian masuk
dalam kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Kawasan ini menjadi tempat
hidup bagi 182 jenis burung, 22 jenis mamalia, 115 jenis kupu-kupu, 7 jenis ampibi,
dan 29 jenis reptil. Satwa asli Sumba yang kini langka, banyak ditemui di sana.
Seperti Kakatua Jambul Jingga, Rangkong
Sumba, Burung Walet sarang putih, dan Walik Rawamanu. Tanaman yang tumbuh di
sana pun sangat beragam, mencapai 70 jenis tumbuhan.
Di
sekitar kawasan ini juga banyak dijumpai kuburan kuno dengan ukiran motif kuda,
kerbau, dan orang. Kuburan ini menjadi simbol dan status sosial keluarga. Bagi
masyarakat di sana, hutan menjadi tempat yang sakral.
Tak
hanya masyarakat yang menolak. 2 Agustus 2010, DPRD Sumba Timur mengirim surat
ke Bupati Sumba Timur untuk meminta penghentian sementera kegiatan tambang
tersebut. Surat bernomor 522/165/DPRD/VIII/ 2010 itu juga ditembuskan ke PT
Fathi Resources. DPRD Sumba Timur menilai, PT Fathi tidak memiliki Izin Pinjam
Pakai Kawasan Hutan. Juga adanya penolakan dari 160 warga Desa Karipi,
Kecamatan Matawai Lapawu.
Kementerian
Kehutanan pun mengeluarkan pernyataan senada. PT Fathi Resources belum
mengantongi ijin pinjam pakai kawasan hutan. Tapi pemerintah daerah berkilah.
Bupati Sumba Timur bersikukuh. Kawasan tambang masih di luar kawasan Taman
Nasional.
Tambang
di hutan lindung banyak mudhorotnya. Kawasan yang sudah dijaga dan dilindungi
ini, akan rusak permanen. Sumber air berkurang karena rusaknya lingkungan dan
kegiatan pertambangan. Musnahnya keanekaragaman hayati. Hancurnya daerah
tangkapan air bawah tanah. Hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal. Juga
leyapnya situs-situs budaya lokal.
Sayangnya
ini justru dilakukan dengan sadar oleh pemerintah lewat kebijakan yang
dikeluarkan.
Lewat
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pemerintah melarang penambangan secara
terbuka di kawasan lindung. Namun, di tahun 2004 pemerintah mengeluarkan Perpu
No. 1 Tahun 2004 yang berlawanan, dengan
membolehkan penambangan di hutan lindung. Ada 13 perusahaan tambang yang
diberikan ijin menambang di kawasan lindung dengan luasan mencapai 925 ribu
hektar. Perpu ini kemudian disahkan
menjadi UU No. 19 tahun 2004.
UU
ini kemudian diajukan ke Mahkamah Konsittusi, dan diputuskan bahwa UU No. 19
tahun 2004 tetap berlaku, dan hanya
menetapkan 6 perusahaan dari 13 perusahaan tambang dilarang menambang secara
terbuka di hutan lindung.
Tak
cuma itu, pada Februari 2008 Pemerintah mengeluarkan PP No. 2 Tahun 2008 yang
mengatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan dengan tarif murah. Satu meter hutan lindung disewakan tak
lebih dari Rp 300,-.
Kebijakan
ini makin memperparah kerusakan hutan Indonesia. Dan ini mencederai komitmen
Presiden SBY dalam isu perubahan iklim yang berjanji untuk menurunkan emisi
karbon sebesar 26 persen.
Hutan
lindung harus dijaga, bukan dihancurkan. Apalagi Sumba adalah pulau kecil yang
rentan krisis air dan bencana kekeringan. Dan Wanggameti selama ini menjadi
penyimpan air bagi Pulau Sumba. [ ]
Luluk
Uliyah, Knowlegde Officer Yayasan SatuDunia
14
September 2011
Komentar
Posting Komentar