Laut Yang Semakin Sepi
Perubahan iklim sangat mengganggu
kehidupan nelayan tradisional. Cuaca yang buruk, gelombang besar hingga
gelombang pasang, membuat mereka tak bisa melaut. Pendapatan nelayan menurun
karena nelayan tak berani berlayar jauh dari pantai akibat gelombang laut yang
tinggi. Akibatnya, harga ikan melonjak tajam dan bisnis penangkapan ikan
merosot hingga 50 persen. Sementara pendapatan nelayan juga ikut turun, antara
50 – 70 persen.
Harga-harga ikan seperti kakap,
tuna, bawal, tongkol, lalu kepiting, udang, dan cumi di pasar-pasar tradisional
pun merangkak naik, mencapai 30 – 70 persen. Sebut saja ikan tongkol kecil,
yang biasanya hanya Rp. 3000-5.000,- per ekor naik menjadi Rp. 9 ribu.
Ikan tuna juga naik, dari Rp. 20.000,- per kg menjadi Rp. 27.000 per kg.
Cuaca buruk dan hujan berkepanjangan yang terus terjadi sejak tahun 2010
menyebabkan nasib nelayan makin terpuruk (Kompas, 3 Januari 2011).
Padahal, nelayan tak memiliki
pendapatan sampingan. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa
jumlah nelayan turun dari 2.755.794 pada tahun 2007 menjadi 2.752.490 nelayan.
Jumlah ini juga semakin turun di tahun-tahun berikutnya.
Dampak perubahan iklim ini sangat
terasa di daerah-daerah. Di Tuban, Jawa Timur, sudah hampir sebulan nelayan
pesisir utara Jawa ini tak melaut akibat cuaca buruk. Ombak setinggi dua meter
masih terjadi di perairan Pantai Gesikharjo, Palang, Tuban. Hanya sebagian
nelayan yang nekad melaut, itupun tidak jauh di sekitar pantai untuk mencari
rajungan. Cuaca buruk pun berimbas pada berkurangnya hasil tangkapan rajungan
nelayan.
Di Gresik, Jawa Timur,
ribuan hektare tambak bandeng hancur diterjang gelombang laut. Selain
menghancurkan 1.500 hektare lahan tambak, gelombang setinggi 3 meter di Laut
Jawa itu juga menghanyutkan tanaman bakau.
Di Trenggalek pun, nelayan tak
berani melaut karena gelombang tinggi disertai angin kencang dan udara dingin.
Hasil tangkapan mereka menurun drastis. Tak mencapai Rp 50 ribu. Padahal untuk
biaya bahan bakarnya saja mencapai Rp 100 ribu. (Duta Masyarakat, 11 Januari
2011).
Wakil gubernur Jawa Timur sendiri
menyampaikan, jika jumlah produksi ikan tangkap di Jawa Timur selama 2010 turun
sekitar 30 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 230 ribu ton. Dalam dua
bulan terkahir ini, sekitar 50 ribu perahu nelayan di 22 kabupaten dan kota di
Jatim, tidak bisa melaut karena cuaca buruk. Di Sendang Biru, Malang Selatan
lebih dari 300 perahu nelayan tradisional tidak melaut akibat gelombang tinggi
sekitar 2-3 meter di Samudera Indonesia.
Sementara itu, gelombang dan
angin kencang juga dirasakan nelayan di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Sebuah
bangunan tempat pendaratan ikan di Suradadi, Tegal, juga rusak dan membahayakan
para nelayan jika kembali digunakan. Ikan hasil tangkapan nelayan yang melaut langsung
dijual di sembarang tempat yang dinilai aman (Metronews.com, 23 Januari 2011).
Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) mencatat sebanyak 473.983 orang nelayan di 41 kabupaten/kota
pada 20 provinsi saat ini tidak dapat melaut. Jumlah nelayan yang terancam
rawan pangan di Jawa Barat meliputi Kab. Ciamis (9.021 orang), Kab. Garut
(2.738 orang), Kab. Sukabumi (12.271 orang), Kab. Bekasi (2.107 orang), Kab.
Subang (19.014 orang), Kab. Indramayu (61.689 orang), dan Kab. Cirebon (5.298
orang). Selain di Jawa Barat, jumlah nelayan tertinggi yang terancam rawan
pangan yaitu di Deli Serdang, Kab. Karimun, Kab. Demak, dan Kab. Lamongan
(Pikiran Rakyat, 24 Januari 2011).
Namun data KIARA menunjukkan
fakta yang lebih besar dari itu. Sekitar 550 ribu nelayan dari 53
kabupaten/kota terkena dampak perubahan iklim mulai dari menurunnya frekuensi
melaut, penurunan hasil tangkapan pendapatan nelayan tradisional yang mencapai
50-70 persen, hingga kerugian di sektor perikanan tradisional yang mencapai Rp
56 – Rp 73 Triliun, dengan total jumlah nelayan tangkap tradisional per 2009
sejumlah 2,752,490 jiwa.
Frekuensi melaut nelayan pun
turun, dari rata-rata 240-300 hari per tahun, di tahun 2010 mereka hanya melaut
sekitar 160-180 hari per tahun. Bahkan, selama Januari – September 2010,
sebanyak 68 nelayan yang hilang/meninggal akibat terjangan ombak.
Hasil riset Kementerian Kelautan
dan Perikanan sendiri menunjukkan bahwa perubahan iklim ini sangat merugikan
nelayan. Di Cilamaya, Karawang, kombinasi angin kencang dan gelombang tinggi
yang semakin sering menjadikan hambatan terbesar nelayan saat hendak pergi
melaut. Sementara bagi para pembudidaya ikan, curah hujan berkepanjangan (yang
semakin sering) dan banjir mulai menyulitkan.
Di kawasan seperti Cijulang,
Ciamis atau Batu Karas, Pangandaran, gelombang 2-3 meter membuat mereka ciut
melaut. Lebih dari 60% nelayan-nelayan di Cijulang sudah kesulitan menangkap
ikan, dan produksi ikan di kawasan itu telah turun lebih dari 50% sejak 2009.
Sebagian besar penurunan produktivitas ini mereka rasakan akibat alam atau
iklim yang berubah.
Bukan hanya di Cilamaya atau
Cijulang nelayan yang disurvei oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Nelayan
di Boyolali, Karawang, Gresik, Boyolali, Cilacap, Pekalongan, Gowa, serta
Pulang Pisau dan Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah pun ikut merasakan
dampak perubahan iklim.
Bagi nelayan budidaya perikanan
laut, perubahan iklim juga sangat berpengaruh terhadap penghidupan mereka.
Curah hujan yang tinggi mengakibatkan rusaknya lokasi budidaya seperti rumput
laut akibat luapan air tawar yang masuk dari muara sungai ke laut. Penjemuran
dan pengeringan rumput laut pun terganggu akibat cuaca yang berubah-ubah
dan sering turun hujan.
Nelayan
budidaya yang lain seperti lobster, kerapu dan kerang kerangan juga mengalami
dampak yang sama, turunnya kualitas dan hasil panen serta harga jual.
Juga terjadinya perubahan siklus hama dan penyakit pada budidaya laut yang
dipelihara baik dalam karamba maupun di tambak.
Merosotnya aktivitas melaut
nelayan justru menjadi peluang maraknya pencurian ikan oleh kapal-kapal besar
milik asing. Absennya nelayan tradisional di perairan karena cuaca buruk,
membuat kapal-kapal asing dengan seenaknya mencuri ikan di kawasan perairan
Indonesia. Tak kurang 6 dari 10 negara anggota ASEAN menggiring kapal-kapalnya
untuk mengambil ikan di perairan Indonesia. Hingga September 2010, tercatat 140
kapal asing yang ditangkap karena mencuri di perairan Indonesia.Kerugian
ditaksir mencapai Rp 80 tiriun per tahun, yang terdiri dari hilangnya komoditi
perikanan sekitar Rp 30 triliun dan pemasukan dari pajak sebesar Rp 30 triliun.
Minimnya informasi tentang
perubahan iklim membuat nelayan tradisional hanya bisa gigit jari. Padahal,
nelayan tradisional berkontribusi lebih dari 75% ikan untuk kebutuhan dalam
negeri.[ ]
25 Februari 2011
Komentar
Posting Komentar