Hak Penguasaan Perairan Pesisir VS Peminggiran Nelayan Tradisional
Saat ini Bona mulai resah dan khawatir. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) telah memberikan kuasa kepada para pemodal untuk melakukan pengkaplingan dan mengkomersialisasi perairan pesisir lewat Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).
Dengan Undang-Undang ini, kearifan masyarakat Lamalera akan digusur dan disingkirkan, yang berarti akan menghilangkan identitas tradisi masyarakat Lamalera. Dan ini juga akan mengancam nelayan-nelayan tradisional yang ada di seluruh pesisir Indonesia.
http://www.satudunia.net/content/indepth-report-hp3-vs-pengetahuan-nelayan-tradisional
Hak Penguasaan Perairan Pesisir
VS
Indepth Report
Februari 2011
Oleh : Luluk
Uliyah
Bona Beding, lahir dan besar di
Lamalera. Dia anak salah seorang lamafa (juru tikam) di Lamalera, Nusa Tenggara
Timur. Bona sangat tahu arti laut buat dirinya dan ribuan nelayan yang ada di
sana. Bahkan masyarakat Lamalera punya kearifan tersendiri dalam menjaga
lautnya. Tradisi penangkapan paus (Ola Nue) pun adalah salah satu kearifan
mereka, yang dijaga hingga kini. Menangkap ikan paus, yang tak hanya asal
menangkap ikan untuk dikonsumsi, tetapi sudah menjadi bagian dari tradisi dan
religi masyarakat Lamalera.
Ola Nue sendiri merupakan tradisi penangkapan ikan paus yang sudah dilakukan sejak turun temurun oleh nenek moyang masyarakat Lefo Lamalera. Sudah berabad-abad Ola Nue menyangga nilai-nilai budaya masyarakat di sana, dan telah menyatu dengan nilai-nilai keagamaan sejak masuknya agama Katolik di Lembata pada tahun 1886.
Penangkapan paus pun tidak dilakukan secara sembarangan. Ada aturan dan patokan waktunya. Penangkapan paus biasanya dilakukan pada 1 Mei hingga 31 Oktober. Sebelum melaut, pada 27 – 29 April, mereka melakukan upacara adat.
Ola Nue sendiri merupakan tradisi penangkapan ikan paus yang sudah dilakukan sejak turun temurun oleh nenek moyang masyarakat Lefo Lamalera. Sudah berabad-abad Ola Nue menyangga nilai-nilai budaya masyarakat di sana, dan telah menyatu dengan nilai-nilai keagamaan sejak masuknya agama Katolik di Lembata pada tahun 1886.
Penangkapan paus pun tidak dilakukan secara sembarangan. Ada aturan dan patokan waktunya. Penangkapan paus biasanya dilakukan pada 1 Mei hingga 31 Oktober. Sebelum melaut, pada 27 – 29 April, mereka melakukan upacara adat.
Dan pada 30 April sore, masyarakat melakukan misa untuk
memohon keselamatan bagi arwah semua orang yang meninggal di laut. Dilanjutkan
pada keesokan harinya dengan melakukan misa memohon keselamatan bagi yang akan
melaut. Baru pada 2 Mei nelayan Lamalera beramai-ramai turun melaut.
Lima hari seminggu, karena Sabtu dan
Minggu mereka harus istirahat dan beribadah. Mereka menangkap ikan hanya sesuai
yang dibutuhkan saja. Tidak ngoyo. Jika ikan berontak, maka akan dilepas.
Demikian juga dengan hasil tangkapan. Ikan paus yang ditangkap dibagikan kepada semua warga kampung, dengan mengutamakan para janda, yatim piatu, dan fakir miskin. Tak hanya itu, dengan berdasar aturan adat, tangkapan ikan paus dibagikan secara merata sesuai dengan tanggung jawab yang diemban.
Mereka percaya, bila ada yang melakukan penyimpangan, maka akan mendapatkan celaka. Inilah yang menjadikan penangkapan ikan paus tak sekadar penangkapan untuk konsumsi belaka, tapi berkaitan dengan penghidupan, tradisi, dan religi seluruh masyarakat Lamalera.
Namun saat ini Bona mulai resah dan khawatir. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) telah memberikan kuasa kepada para pemodal untuk melakukan pengkaplingan dan mengkomersialisasi perairan pesisir lewat Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).
Demikian juga dengan hasil tangkapan. Ikan paus yang ditangkap dibagikan kepada semua warga kampung, dengan mengutamakan para janda, yatim piatu, dan fakir miskin. Tak hanya itu, dengan berdasar aturan adat, tangkapan ikan paus dibagikan secara merata sesuai dengan tanggung jawab yang diemban.
Mereka percaya, bila ada yang melakukan penyimpangan, maka akan mendapatkan celaka. Inilah yang menjadikan penangkapan ikan paus tak sekadar penangkapan untuk konsumsi belaka, tapi berkaitan dengan penghidupan, tradisi, dan religi seluruh masyarakat Lamalera.
Namun saat ini Bona mulai resah dan khawatir. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) telah memberikan kuasa kepada para pemodal untuk melakukan pengkaplingan dan mengkomersialisasi perairan pesisir lewat Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).
Dengan Undang-Undang ini, kearifan masyarakat Lamalera
akan digusur dan disingkirkan, yang berarti akan menghilangkan identitas
tradisi masyarakat Lamalera. Dan ini juga akan mengancam nelayan-nelayan
tradisional yang ada di seluruh pesisir Indonesia.
Mengapa HP3 Ditolak?
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 di ketentuan umum poin 18 disebutkan bahwa “Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
Inilah yang menjadi akar permasalahan. Dengan ketentuan ini, HP3 akan melegitimasi kepentingan modal untuk menggusur nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Industri macam pertambangan, perikanan dan budidaya, serta pariwisata akan melakukan eksploitasi sumber daya alam, merusak lingkungan sekaligus merampas hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Kawasan pesisir menjadi komersil, dan tak lagi bisa dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan tradisional, yang selama ini hidup berdampingan dengan laut. Pun juga bagi masyarakat umum lainnya yang tak lagi bisa menikmati indahnya panorama pesisir Indonesia secara cuma-cuma.
Di pasal-pasal yang lain pun banyak ditemukan aturan yang mengancam nelayan tradisional. Di pasal 16 menyebutkan bahwa pemanfaatan wilayah pesisir diberikan dalam bentuk HP3. Dilanjutkan dengan pasal 19 yang menyebutkan bahwa HP3 diberikan dalam jangka waktu 20 tahun, dan bisa diperpanjang. Tentu bisa dinalar, nelayan tradisional tak mungkin bisa punya modal untuk menguasai wilayahnya saat ini.
Apalagi saat ini banyak kawasan
pesisir yang telah “dipagari” oleh para pemodal besar dengan menjadikannya
objek wisata, perumahan, pertokoan, mal, pertambangan hingga kawasan industri
yang tak boleh disentuh sedikit pun oleh para nelayan.
Sudah banyak bukti yang bisa dipaparkan. Di Manado, Sulawesi Utara contohnya. Ratusan nelayan Manado, mulai dari Pondol hingga kawasan Mega Mas tak lagi bisa menambatkan perahunya di pinggir pantai.
Sudah banyak bukti yang bisa dipaparkan. Di Manado, Sulawesi Utara contohnya. Ratusan nelayan Manado, mulai dari Pondol hingga kawasan Mega Mas tak lagi bisa menambatkan perahunya di pinggir pantai.
Sepanjang pantai yang selama ini mereka gunakan, telah
berganti menjadi kawasan Boulevard. Akibatnya mereka tak bisa lagi menambatkan
perahu selepas mencari ikan di laut. Pengelola Boulevard yang pernah
menjanjikan tambatan perahu, ternyata hanya membuat satu tambatan. Tentu ini
tak cukup, karena ada lebih dari 300 nelayan di sepanjang Pondol hingga kawasan
Megamas. Saat ombak besar, banyak perahu nelayan yang hancur.
Di pusat ibukota pun sama. Nelayan di pesisir utara Jakarta tak bisa lagi berlabuh dan menangkap ikan di sekitar lokasi wisata Ancol. Perusahaan-perusahaan di sepanjang pesisir tersebut melakukan pengawasan yang sangat ketat, yang mengganggu aktivitas nelayan. Padahal, dulu kawasan tersebut merupakan tempat nelayan di pesisir utara Jakarta menangkap ikan. Saat ini para nelayan harus melaut lebih jauh lagi dan hal ini berdampak pada kebutuhan bahan bakar yang semakin banyak dari biasanya. Padahal hasilnya belum tentu bertambah banyak.
Sementara itu, di Pasal 14 UU No. 27/2007, tentang penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang (RZWP-3-K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP-3-K) dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RAWP-3-K), terlihat sekali bahwa peran pemerintah daerah dan dunia usaha sangat besar. Sementara masyarakat hanya sekedar dijadikan pendukung, bukan pemilik kedaulatan atas ruang hidup dan wilayah penghidupannya.
Dan masih banyak pasal-pasal lagi yang tak berpihak pada nelayan-nelayan tradisional, dan mengancam keberlanjutan hidup mereka. Padahal, jumlah nelayan di negeri bahari ini terus menurun. Saat ini saja, jumlahnya sekitar 2,8 juta kepala keluarga, turun 25% dalam kurun waktu 10 tahun. Faktor kebijakan yang tak berpihak pada nelayan tradisional dan pengabaian nasib nelayan menjadi faktor penyebab terbesar.
UU ini seperti cermin bagi pemerintah ini, yang tak pernah memperhatikan nasib warganya terutama nelayan. HP3 akan menciptakan ranah “pertempuan” terbuka antara nelayan tradisional dengan pemodal, yang pasti akan menggusur dan meminggirkan nelayan tradisional. Padahal, Negara punya kewajiban untuk memberikan pelayanan dan memperhatikan nasib keselamatan rakyatnya. Peran Negara sangat ditunggu untuk benar-benar jadi pengayom rakyatnya.
Di pusat ibukota pun sama. Nelayan di pesisir utara Jakarta tak bisa lagi berlabuh dan menangkap ikan di sekitar lokasi wisata Ancol. Perusahaan-perusahaan di sepanjang pesisir tersebut melakukan pengawasan yang sangat ketat, yang mengganggu aktivitas nelayan. Padahal, dulu kawasan tersebut merupakan tempat nelayan di pesisir utara Jakarta menangkap ikan. Saat ini para nelayan harus melaut lebih jauh lagi dan hal ini berdampak pada kebutuhan bahan bakar yang semakin banyak dari biasanya. Padahal hasilnya belum tentu bertambah banyak.
Sementara itu, di Pasal 14 UU No. 27/2007, tentang penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang (RZWP-3-K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP-3-K) dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RAWP-3-K), terlihat sekali bahwa peran pemerintah daerah dan dunia usaha sangat besar. Sementara masyarakat hanya sekedar dijadikan pendukung, bukan pemilik kedaulatan atas ruang hidup dan wilayah penghidupannya.
Dan masih banyak pasal-pasal lagi yang tak berpihak pada nelayan-nelayan tradisional, dan mengancam keberlanjutan hidup mereka. Padahal, jumlah nelayan di negeri bahari ini terus menurun. Saat ini saja, jumlahnya sekitar 2,8 juta kepala keluarga, turun 25% dalam kurun waktu 10 tahun. Faktor kebijakan yang tak berpihak pada nelayan tradisional dan pengabaian nasib nelayan menjadi faktor penyebab terbesar.
UU ini seperti cermin bagi pemerintah ini, yang tak pernah memperhatikan nasib warganya terutama nelayan. HP3 akan menciptakan ranah “pertempuan” terbuka antara nelayan tradisional dengan pemodal, yang pasti akan menggusur dan meminggirkan nelayan tradisional. Padahal, Negara punya kewajiban untuk memberikan pelayanan dan memperhatikan nasib keselamatan rakyatnya. Peran Negara sangat ditunggu untuk benar-benar jadi pengayom rakyatnya.
-------------------------------
Sumber tulisan:
• Lamalera Minta Konservasi Ikan Paus Dikaji Ulang, Senin, 23-Maret-2009, http://www.cileungsi.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=37&artid=3075. , diunduh pada 7 Februari 2011
• Lamalera Tolak Congkak Di Balik Rencana Konservasi Ikan Paus, “Bentara” FLORES POS, Selasa 28 April 2009
• Elemen Masyarakat Mengajukan Uji Materi (judicial review) Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3)
• Menyangkut HP3, DKP Abaikan Suara Masyarakat Adat, Siaran Pers Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan Paus (FMPTPIP) Lamalera, Nusa Tenggara Timur, WALHi dan KIARA pada 12 Agustus 2009
• Kontraversi HP3, Leonardo Marbun
• Nelayan Kembali Pertanyakan Tambatan Perahu, 21 January 2010, poskomanado.com
• Walhi: Masyarakat Pesisir Butuh HP3, 21 Juli 2008, berita.kapanlagi.com
• Riza Damanik, Nasib Nelayan Indonesia Memprihatinkan, http://www.perspektifbaru.com/wawancara/722, Edisi 722 | 25 Jan 2010
Komentar
Posting Komentar