Keadilan Iklim, Sudahkah Membumi?

Jika menanyakan keadilan iklim kepada publik luas, sebagian besar masih belum memahami. Konsep perubahan iklim pun belum sepenuhnya diketahui public luas. Rata-rata hanya menjawab bahwa memang saat ini iklim sudah berubah. Tetapi apa dan mengapa, tak banyak publik yang paham.




Indepth Report
Keadilan Iklim, Sudahkah Membumi?


Oleh
Luluk Uliyah dan Firdaus Cahyadi
Knowledge Management Departement
Yayasan SatuDunia


Sekilas Pandangan Publik Tentang Keadilan Iklim

Pada bulan April 2011, SatuDunia mengadakan survei online terhadap 30 orang tentang isu Keadilan Iklim. Survei ini memang belum mewakili seluruh publik pengguna internet di Indonesia. Namun setidaknya dapat dijadikan gambaran awal bagaimana publik mengetahui isu Keadilan Iklim.

Ketika ditanyakan apakah anda pernah mendengar istilah perubahan iklim, semua responden atau 100% responden  menjawab pernah. Popularitas isu perubahan iklim sejak Indonesia menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi perubahan iklim bisa menjadi penyebabnya.

Mayoritas responden (83%) pernah terlibat dalam kampanye perubahan iklim. Sementara sisanya (17%) mengaku tidak atau belum pernah terlibat dalam kampanye perubahan iklim.

Berbeda dengan istilah perubahan iklim yang 100% responden pernah mendengarnya. Ketika ditanya apakah pernah mendengar istilah keadilan iklim, hanya 70% responden yang mengaku pernah mendengarnya. Sementara sisianya (30%) mengaku belum pernah mendengarnya.

Apa artinya? Dari 100% responden yang mengetahui istilah perubahan iklim,  sebanyak 30% mengaku belum pernah mendengar istilah keadilan iklim. Istilah Perubahan Iklim lebih popular di masyarakat dibandingkan istilah Keadilan Iklim.
http://www.satudunia.net/content/indepth-report-keadilan-iklim-sudahkah-membumi



















Mayoritas responden lebih sering mendengar istilah REDD dalam isu perubahan iklim (30%). Bahkan istilah REDD lebih popular daripada Emisi Gas Rumah Kaca (27%).

Sementara untuk istilah-istilah yang menjadi prinsip-prinsip Keadilan Iklim (HELP=Human Security, Ecological Debt, Land Right, Production and Consumption), istilah Land Right lebih popular (10%), kemudian disusul istilah Ecological Debt (7%).  Sementara istilah lainnya, Human Security dan  Production and Consumption, belum pernah didengar oleh responden.

Mayoritas responden (100%) juga setuju bila negara-negara maju harus mengurangi emisi GRK di negaranya sendiri. Pertanyaan ini diajukan terkait dengan isu carbon offset (tukar guling karbon) yang pernah menjadi isu yang hangat diperdebatkan di milis keadilan iklim.

Mayoritas responden juga menyatakan tidak setuju (87%) bila pemerintah membuat utang luar negeri baru untuk mengatasi perubahan iklim. Hanya 13% responden yang menyatakan setuju.

Namun ketika ditanya apakah mengetahui cara menyampaikan kritik atau saran kepada pemerintah terkait isu perubahan iklim? Ternyata sebanyak 43% responden menyatakan tidak tahu. Sementara 57% responden menyatakan mengetahuinya. Ketidakatahuan mereka terhadap cara menyampaikan kritik atau saran kepada pemerintah menjadi sebuah ironi bila dibandingkan dengan keterlibatan mereka dengan kampanye perubahan iklim. Seperti tersebut di atas mayoritas responden (83%), mengaku pernah terlibat dalam kampanye perubahan iklim.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) adalah LSM yang paling popular menurut responden dalam berkampanye isu perubahan iklim (40%), disusul WWF Indonesia (23%), Greenpeace (17%) dan CSF (13%). Dari sisi usia LSM, popularitas CSF lumayan baik dibandingkan LSM-LSM lain yang berkampanye soal perubahan iklim. Meskipun CSF sendiri adalah koalisi dari LSM-LSM Indonesia yang sepakat dengan mengusung isu keadilan iklim.

Perubahan Iklim, Sekilas Pandang...

Revolusi industri di Negara-negara Utara pada adab 18 – 19 telah mengubah model produksi menjadi sangat konsumtif. Triliunan emisi karbon dilepaskan secara besar-besaran ke lapisan udara bumi akibat pembukaan pabrik, pembakaran minyak bumi, batubara, gas alam, pembukaan lahan dan eksploitasi sumber daya alam. Suhu bumi makin meningkat tajam.

Dalam 10 tahun terakhir, terjadi bencana dimana-mana. Angin keras, badai, cuaca ekstrim hingga curah hujan yang makin tinggi di belahan dunia yang lain, tetapi menurun drastis di bagian dunia satunya. Kekeringan makin meluas kemana-mana. Penyakit yang disebabkan oleh vector meluas pula.

Laporan UNFCCC menyebutkan bahwa dalam 100 tahun terakhir ini temperature global telah meningkat 0,7 derajat Celcius dan akan meningkat lebih dari tiga derajat Celcius pada tahun 2100 kalau tak ada perubahan dalam praktek produksi dan konsumsi. Celakanya, akumulasi lebih dari 100 tahun gas CO2 terus menggantung di atmosfer bumi. Artinya, sekali naik, suhu bumi tak akan bisa turun kembali.

Dalam perundingan KTT Bumi di Kyoto, Jepang, 11 Desember 1997, disepakati bahwa Negara-negara industri yang masuk dalam Annex I secara kolektif wajib menurunkan emisi 5,2 persen dari tingkat emisi di tahun 1990 pada tahun 2008 – 2012. Negara Annex I juga diwajibkan melaporkan kegiatan alih teknologi dan bantuan pendanaan kepada Negara-negara berkembang.

Namun antara tahun 1994 – 2004, jumlah emisi di 10 negara maju malah naik 87,9 persen, kecuali Rusia, Polandia dan Jerman. Amerika Serikat, sebagai Negara yang hingga saat ini tak mau meratifikasi Protokol Kyoto, malah menyumbang emisi terbesar, 20,01 ton per kapita per tahun. Disusul Australia 19,36, Kanada 18,4, Jepang 9,37, China 3,6, Brasil 1,83. Indonesia sendiri tingkat emisinya mencapai 1,4 ton per kapita per tahun karena adanya kebakaran hutan. Sementara India 1,02, dan Banglades 0,27 ton per kapita per tahun.

Negara-negara berkembang menghadapi tantangan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, terutama untuk menghapus kemiskinan. Namun Negara maju juga turut meminta Negara berkembang untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kacanya tanpa alih teknologi dan pendanaan.


Keadilan Iklim, Apakah Itu?

Di bulan Maret lalu, SatuDunia mencoba mencari tahu seperti apa keadilan iklim itu dari perspektif beberapa kalangan, seperti aktivis lingkungan, wartawan dan publik umum. Juga menelusurinya dari website lembaga-lembaga yang banyak bekerja di isu perubahan iklim. Wawancara ini dilakukan untuk memetakan seberapa jauh keadilan iklim telah dipahami oleh public luas.

Hasil wawancara mendalam dengan para pegiat lingkungan, mengungkapkan bahwa Keadilan iklim harus ditempatkan dalam konteks perubahan iklim dan model-model pembangunan. Giorgio Budi, Manager Program Hutan dan Iklim ICEL menjelaskan bahwa Keadilan iklim merupakan kesetaraan dari setiap orang atau setiap Negara untuk membangun dan menyadari tantangan untuk menjawab iklim yang sedang berubah.

“Keadilan iklim juga harus memenuhi rasa keadilan,” ujarnya mantan aktivis Walhi Farah Sofa, “Siapa yang menyebabkan maka dia harus bertanggung jawab”. Dalam perubahan iklim ini, menurutnya, orang bicara tentang benefit sharing atau pembagian keuntungan dari inisiatif-inisiatif yang mungkin dilakukan dalam konteks mengatasi atau memitigasi dampak perubahan iklim.

“Dan yang sering terlupakan adalah, bagaimana resiko-resiko yang harus ditanggung juga harus dibagi,” jelasnya, “Dalam konteks perubahan iklim, banyak inisiatif-inisiatif baru yang seolah-olah menjanjikan perubahan yang baru, terutama berkaitan dengan manfaat yang akan diterima oleh masyarakat,”. Tapi ironisnya, lanjut Farah Sofa, yang sering dimunculkan terus menerus hanyal keuntungan-keuntungan semata. “Sementara dampak/resiko terbesar dari perubahan iklim tak banyak diketahui,” papar Farah Sofa.

Hal lain, menurut Farah Sofa, yang masih menjadi kendala terkait dengan perubahan iklim adalah adanya jarak (gap) dalam knowledge dan gap di dalam resources. “Ini juga menjadi kendala yang menyebabkan keadilan iklim sulit untuk diwujudkan,” jelasnya.

Hendro Sangkoyo, dari Sekolah Ekonomika Demokratik (SDE) memaparkan bahwa upaya untuk mencapai keadilan iklim tak hanya dijawab dengan menurunkan karbon. “Karbon tak bisa dilepaskan dari konteksnya, yang lantas dijawab dengan penanaman pohon, perlindungan hutan dan lain-lain yang hanya diperlakukan sebagai bahan dagangan untuk meminta bantuan pendanaan,” jelasnya.

Apalagi, jelasnya, jika melihat fakta kerusakan hutan di Indonesia yang selama 2 generasi telah dilakukan secara sistematis. “Saat jaman Orde Baru, perusakan hutan mencapai jutaan hektar lewat monopoli penggunaan lahan,” ujarnya, “Selesai rezim logging dilanjutkan dengan rezim tambang dan perkebunan”

Hendro pun menambahkan bahwa Perubahan iklim tak bisa diatasi dengan menarik rente dari perdagangan karbon, sementara persoalan-persoalan yang sistematis tak diurus dan dicari jalan keluarnya. “Pemerintah masih tetap membuat infrastruktur untuk pembangunan wilayah dengan melakukan pembongkaran di sana-sini” terangnya.

Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah, apa upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim menuju keadilan iklim?

Hendro memberikan jawaban bahwa perlu ada upaya untuk kembali ke syarat-syarat keamanan dan keselamatan manusia. “Cukup lahan untuk memproduksi pangan, dengan tidak melakukan pembongkaran untuk memenuhi kebutuhan energi yang naga-naganya digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekspor,” paparnya, “Dan yang lain, adalah perlu adanya model untuk melihat produksi dan konsumsi bahan-bahan energy dan perluasan ekonomi sebagai bagian dari perluasan social ekonomi dan ekologi. Hutan tak boleh dirusak, sumber-sumber air harus dipelihara, dan lainnya,”

Sementara Teguh Surya, WALHI, menambahkan bahwa untuk memenuhi konteks keadilan, Negara-negara kaya harus mengurangi emisinya dan mengubah pola konsumsinya dengan mengacu pada tingka kerentanan Negara-negara berkembang. Apalagi Negara-negara maju adalah pengkonsumsi bahan-bahan pencemar.

Keadilan Iklim, Sudahkah Membumi?

Sementara itu, jika menanyakan keadilan iklim kepada publik luas, sebagian besar masih belum memahami. Konsep perubahan iklim pun belum sepenuhnya diketahui public luas. Rata-rata hanya menjawab bahwa memang saat ini iklim sudah berubah. Tetapi apa dan mengapa, tak banyak publik yang paham.

Dari putaran diskusi yang diadakan oleh Civil Society Forum for Climate Justice (CSF) tentang keadilan iklim untuk kawula muda beberapa waktu yang lalu, terlihat bahwa pemahaman perubahan iklim masih berkutat pada masalah banjir, bencana dan 3 R (Reuse, Reduce,Recycle). Mereka menyadari bahwa isu perubahan iklim perlu untuk diketahui secara detail.

Keadilan iklim pun baru dipahami hanya selintas.

Hara, yang selama ini aktif di Yayasan Kesehatan Perempuan – YKP, menyampaikan bahwa hakikat keadilan iklim adalah semua orang harus mendapatkan sesuatunya seara adil, tak ada yang dirugikan.

“Tak adanya sosialisasi yang menyeluruh terkait isu perubahan iklim dan keadilan iklim, menjadi penyebab terpenting mengapa keadilan iklim belum dipahami secara utuh di kalangan public luas,” kritik Dewi, mahasiswa YAI.

Sementara itu, Hartati Panigraf dari Lembaga Pembebasan manyampaikan bahwa isu perubahan iklim sangat susah untuk dipahami, belum membumi, sehingga tak banyak publik umum yang memahami hal ini. “Bahkan terkesan isu perubahan iklim dipahami hanya oleh LSM lingkungan dan pejabat pemerintah yang menangani masalah ini. Bahasa-bahasa yang dipakai pun masih terlalu “elit” atau tinggi sehingga tak banyak dipahami oleh public umum.

Juga belum ada penggambaran yang konkrit bagaimana menautkannya dengan masyarakat urban, seperti masyarakat di Jakarta ini. Perlu ada upaya untuk mendekatkan isu perubahan iklim dengan kondisi masyarakat real yang terkena dampak perubahan iklim, yang tak hanya dialami oleh petani nelayan dan sebagainya, tetapi juga masyarakat di perkotaan.

Anak-anak muda pun butuh kampanye yang mudah dan praktis yang langsung bisa dilakukan oleh mereka. Seperti matikan lampu jika tak terpakai, hemat energy, membwa botol minuman sendiri dll. Cara-cara praktis ini cukup mudah diterima dan dipahami oleh public umum.

Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi NGO yang mengusung isu keadilan iklim untuk membumikan isu perubahan iklim dan keadilan iklim kepada public luas agar mereka paham.[]



               Sumber :
                         1. Kompas, 8 April 2011, Keadilan Iklim Jauh dari Harapan
         2. Rivani Noor, REDD dan Perubahan Iklim: Kegagalan Pasar dengan Solusi Pasar
   3.http://www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/e/emil-salim/berita/index.shtml.
5.      Wawancara SatuDunia
6.      Survei online SatuDunia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiwul, Nasibmu Kini

Green Community dan Desa Wisata Konservasi

Cerita Secangkir Kopi